twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Senin, 14 November 2011

Keislaman Indonesia Hanya Ritual Semata, Benarkah?

Komaruddin Hidayat
Membaca tulisan menarik yang berjudul “Keislaman Indonesia” yang ditulis oleh Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta di Harian Kompas Sabtu 5 November 2011 lalu —yang mengutip peletakkan Indonesia dalam sebuah penelitian di urutan ke-140 dari 208 negara di dunia yang paling islami— saya jadi ingat dengan pengalaman saya berkunjung ke negeri ginseng Korea pertengahan Maret tanggal 12-19 Maret 2011 lalu. Bagaimana tidak? Apa yang ditulis Komaruddin Hidayat ini jadi mengingatkan saya akan perilaku orang Korea yang benar-benar lebih islami meskipun Korea bukan negara Islam, ketimbang negara kita yang mayoritas penduduknya Muslim. Sedih!

Ini saya kutip sebagian tulisan saya pada poin ke-3 dalam tulisan “Fakta-fakta Unik Tentang Negara Korea (1)” terdahulu yang menceritakan perilaku sosial dan kehidupan beragama orang Korea.

Berbeda dengan kebanyakan orang di negara kita yang rata-rata mengenal dan menganut agama sejak kecil karena agama adalah kebanyakan warisan didikan dari orang tua, tetapi di Korea justru tidak. Pendidikan agama di Korea itu nomor yang kesekian, atau tidak dalam skala prioritas kalau dibandingkan dengan mata pelajaran pendidikan umum. Terdengar aneh, kan?

Jadi jangan heran kalau orang Korea kebanyakan belum beragama atau baru menganut agama setelah mereka dewasa. Namun, satu hal yang patut saya apresiasi dari orang Korea adalah meski mereka kurang kuat dalam hal agama tapi jangan ditanya moralitas orang Korea rata-rata sangat baik dan sangat disiplin melebihi akhlaq orang yang beragama. Ini bisa saya amati dari perilaku mereka saat berkendara di jalan, tidak membuang sampah dan merokok di sembarang tempat, serta kepatuhan mereka pada norma dan hukum yang berlaku di negaranya tinggi. Ya, mungkin ini ciri-ciri umum negara yang sudah maju. Berbeda dengan negara kita yang masih berkembang sehingga masih butuh proses menuju ke arah ini.

Saya juga pernah sedih dan sempat menulis kegundahan hati saya dalam tulisan ini “Mengapa Sholat Itu Tak Penting?” Dan di artikel ini sempat menerima banyak komentar beragam datang mengomentari artikel saya. Salah satu diantaranya banyak yang bilang katanya Sholat itu tetap penting dan wajib dilakukan tak peduli meski kelakuan kita, maaf tetap bejat.

Kalau Anda seorang Muslim saya tanya pilih mana menjalankan Sholat tapi kelakuan tidak bermoral, ataukah tidak Sholat tapi kelakuan Anda baik? Mana yang akan Anda pilih? Jika Anda terjebak memilih jawaban pertama, Sholat tapi kelakuan tetap bejat, maka tak heran kalau hasil penelitian “How Islamic are Islamic Countries” dari Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari hasilnya seperti itu. Apa bedanya Anda dengan orang-orang dari negara Islam anggota OKI lainnya yang dalam penelitian rata-rata muncul di urutan ke-139, betul? Ya, Islam hanya dijadikan sebagai simbol dan ritual belaka, karena samasekali tidak tercermin dalam perbuatan kita.

Hem, kalau saya terus terang jika ditanya seperti itu saya tak mau menjawabnya. Jelas saya tak milih dua-duanya.

Sebetulnya apa yang salah dengan pendidikan agama (Islam) di negara kita? Apa yang salah dengan negara kita yang waktu saya kecil guru saya sering cerita bilang ke saya bahwa Indonesia adalah negara timur yang sangat santun perilaku penduduknya, suka tolong menolong dan membantu sesama. Tapi kini? Saya tidak tahu. Silahkan baca sendiri tulisan menarik dari Komaruddin Hidayat di bawah ini untuk mencari jawabannya.

Keislaman Indonesia
Oleh Komaruddin Hidayat

Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.

Pengalaman UIN Jakarta

Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.

Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.

Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, Ulama besar Mesir setelah berkunjung ke Eropa.”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di Dunia Arab,” Katanya.

Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh dan pengajian semarak dimana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.

Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.

Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan : ….it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings-at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.

Dari 56 negara OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke -7,Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).

Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih Islami.

Semarak Dakwah dan ritual

Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?

Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam-syahadat, shalat, puasa,zakat, haji-dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Padahal misi Rasulullah SAW itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama : Keilmuan, Ketakwaan, dan Akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah,menurut penelitian Rehmen dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.

Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan : How Islamic are Islamic Polotical Parties? Menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan hadis. Lalu diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya. (Harian Kompas, Sabtu 5 November 2011)


Bookmark and Share

37 komentar:

  1. Meskipun saya belum membaca penelitian di atas secara lengkap, tapi berdasarkan apa yang diuraikan Komarudian Hidayat, secara apriori dan tanpa terkejut, saya dapat mengiayakan kesimpulan yang ditarik kedua peneliti di atas.

    Yang menarik dari penelitian tersebut adalah, bahwa nilai-nilai Islami itu pada hakekatnya sangat relevan dengan kehidupan modern dan menjadi idaman semua penduduk dunia.

    Ketika ajaran Islam menekankan pentingnya kebersihan melalui ungkapan "Kebersihan sebagian daripada iman", maka hal itu pulalah yang diharapkan semua orang.

    Adanya senjang antara teori dan praktek adalah biasa, dan belum tentu menjadi bukti bahwa ajaran tersebut keliru.

    Pada tataran global, harus diakui kesenjangan itu terjadi di semua belahan dunia Islam. Tapi pada lingkup yang lebih kecil seperti keluarga dan individu, kesenjangan tersebut tidak tampak sama sekali. Paling tidak, apa yang saya temukan di beberapa keluarga Muslim di daerah saya menunjukkan hal itu.

    Kenyataan ini semoga bisa menjadi poin-poin kecil yang jika diagregasi dapat menjadi antitesa untuk penelitian di atas di masa yang akan datang. Amin!

    Wassalam.

    BalasHapus
  2. Ngomong-ngomong soal Korea, saya sekarang lagi demen dengerin lagu-lagu Girlband Korea Pak :)

    Soal keislaman, mungkin juga bisa diteliti, apakah tingkat ekonomi juga mempengaruhi secara signifikan atau tidak. Setahu saya, tingkat ekonomi masyarakat di negara maju relatif lebih baik daripada di negara berkembang.

    Masalah ibadah ritual, jika ternyata tidak membuat sang pelakunya menjadi lebih peka dan lebih baik akhlaknya, tentu ibadahnya patut dipertanyakan. Seseorang bisa saja rajin solat dan rajin berzikir, namun belum tentu ia memiliki kepekaan sosial dan akhlak yang baik.

    Sudah saatnya dakwah Islam (termasuk ceramah-ceramah) mulai mengurangi porsi materi tentang ibadah yang bersifat ritual. Masalah keimanan juga perlu dikurangi. Saya cenderung lebih menyarankan agar materi/porsi seputar akhlak terhadap sesama lebih diperbanyak lagi (dalam dakwah Islam). Termasuk tentang akhlak terhadap makhluk lain, terhadap alam semesta, maupun sebagai warga negara yang baik.

    BalasHapus
  3. great articles sharing k'mendan:)
    salam
    hendrik lim

    BalasHapus
  4. Joe:
    Sisi menariknya dari hasil penelitian ini, iya adalah fakta bahwa kehidupan islami ternyata secara fakta malah tercermin dalam kehidupan modern di negara maju. Yang ironinya adalah mengapa justru itu terjadi di negara yang mayoritas penduduknya non muslim. Mengapa yang penduduknya muslim malah tidak. :(

    Yang membuat saya tercenung berpikir adalah masalah kesenjangan antara ajaran agama yang diajarkan Islam dengan prakteknya disini. Mengapa begitu jauh? Siapa yang salah? Apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah sebagaimana pertanyaan Komaruddin Hidayat diatas?

    Deretan pertanyaan itu next semoga sudah ditemukan jawabannya sehingga kita semua bisa memperbaikinya. Amin

    iskandaria:
    Girlband Korea? He2.. Saya tahunya hanya boybandnya saja 2PM yang single hitsnya "Hands Up". Kalau penyanyi ceweknya belum tahu.

    Kesimpulan itu bisa ditarik, Mas Is. Iya bahwa tingkat kepatuhan atau perilaku islami suatu negara (orang) dalam berkehidupan sosial berkorelasi positif dengan tingkat ekonomi dan kemajuan suatu bangsa. Cuma saya yang agak heran Brunei, kok tidak disebut2 di penelitian ini, ya. Padahal juga negara Islam dan maju ekonominya.

    Saya setuju dengan poin terakhir itu, Mas Is. Perlunya mulai mengurangi, bukan berarti menghilangkan, tapi lebih meningkatkan ke pembinaan akhlaknya. Karena ini yang menjadi pondasi penting dalam kehidupan beragama.

    Hendrik Lim, Jakarta:
    Terima kasih, Pak Hendrik. Kemarin di hotel Trio Magelang sudah memberikan artikel menarik ini. Saya hampir saja melewatkan artikel Komaruddin Hidayat ini kalau saja kemarin bapak tidak cerita ke saya.

    BalasHapus
  5. Berkunjung mas,

    Saya berharap bukan hanya ritual ya mas, hehe ujung2nya semua tergantung personalnya, Setiap agama mempunyai karakteristik yang unik... hehehe

    hehehe, web co.cc nya lagi dipecat sama google
    bergantung lagi sama blogspot hehehee
    mohon supportnya
    Matursuwun...

    BalasHapus
  6. Memang begitu adanya pak. Saya juga sampai miris.

    Kita diakui sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, kita juga diakui sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

    Sebuah ironi yg menyayat hati :(

    BalasHapus
  7. Terimakasih Sharenya
    Semoga Artikel ini bisa menggugah kita untuk menjadi lebih baik
    Dan Membuat kita semakin Aplikatif terhadap Ajaran Islam dalam Kehidupan
    sehari - hari

    Ada satu hal yang agak mengusik hati
    Pada penelitian Rahmen dan Askari ini lebih ke arah "Sejauh mana aplikasi
    ajaran Islam di kehidupan nyata'
    Dan lebih di tekankan kepada Akhlak Mulia / Integritas
    Cuma tidak ada penjelasan Standard Akhlak Mulia yang mana yang di pakai..?
    Betapa Ironisnya kalo Amerika serikat di urutan 25 dan Indonesia di urutan
    140
    Dan Artinya Amerika Serikat lebih Ber-Akhlak Mulia...???
    Apa iya...????

    Apapun semoga kita bisa mengambil hikmah dan manfaatnya

    Terimakasih

    BalasHapus
  8. Batik Harley:
    Ya, Mas kalau hanya ritual itu hanya buat hubungan vertikal saja antara kita dengan Tuhan saja. Tapi yang buat hubungan horisontal sesama manusia belum ada.

    Darin:
    Kita sulit menampik tudingan itu, Mas Darin. Karena faktanya memang demikian. Negara kita mayoritas penduduknya Muslim namun kelakuannya belum islami karena masih suka korupsi. :(

    Irwan Kusumadi:
    Penelitian itu kalau saya baca kutipannya di tulisan Komaruddin Hidayat dilakukan dengan melihat lima aspek. Yaitu pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

    Lima itu yang menjadi parameternya, Pak. Standardnya sesuai standar Islam yang berlaku seperti dalam Al Quran dan hadis.

    Kenapa Amerika lebih baik dari kita? Benarkah dia lebih berakhlak mulia ketimbang kita orang Indonesia? Kalau yang jadi parameter poin keempat Hak asasi manusi, sepertinya tidak. Karena Amerika punya standar ganda. Pejuang dan pelanggar HAM sekaligus. Tapi kalau akhlak mulia sebagai manusia dengan sesama manusia, hem sepertinya kita memang kalah dengan mereka.

    BalasHapus
  9. Dikutip dari Nizhomul Islam, bab Al-Akhlaqu fil Islam.

    ===============
    Islam memecahkan problematika hidup manusia secara keseluruhan dan memfokuskan perhatiannya pada umat manusia secara integral, tidak terbagi-bagi (untuk umat tertentu-pent). Islam memecahkan problematika manusia dengan metoda yang sama. Peraturan Islam dibangun atas asas ruhiah, yakni (berdasarkan) akidah. Jadi, aspek kerohanian dijadikan sebagai asas peradabannya, asas negara dan asas syariat Islam.
    ===============

    Masalah publik diatur Islam melalui syariah muamalah dan uqubat (hukuman) yang dijalankan oleh negara Islam. Saat ini, syariah tidak diterapkan secara sempurna sehingga kita tidak bisa menyalahkan Islam atas kekacauan ini.

    Misalnya, dalam Syariat Islam bunga jelas-jelas dilarang. Syariat Islam juga menyamakan kedudukan manusia di mata hukum.

    Islam hanya menjadi simbol yang hanya berperan sebagai pemanis dan tidak menjadi ruh dari aturan kehidupan. Para pejabat disumpah dengan Qur'an tapi di saat yang sama dia tidak mengakui bahwa Allah mengawasi seluruh perbuatan dan akan meminta pertanggungjawaban terhadap seluruh masa hidupnya.

    Kita harus melihat akhlak dalam konteks ketaatan kita terhadap syariat, bukan sekadar baik buruk menurut pemikiran manusia. Ketika masyarakat mampu meyakini dan menjalankan syariat secara sempurna, itulah yang disebut dengan akhlak mulia.

    Kita jangan silau dengan kehebatan barat. Di satu sisi mereka maju, misalnya dalam teknologi dan iptek. Di sisi lain mereka sangat rusak, misalnya dalam pergaulan bebas dan budaya permisifnya. Tapi, bukan kemajuan seperti itu yang kita inginkan. Yang kita harapkan adalah kesuksesan di dunia dan akhirat.

    Menurut saya, artikel Komarudin Hidayat menunjukkan sifat inferior (rendah diri). Menganggap Islam dan umat Islam rendah dan di saat yang sama silau dengan peradaban barat.

    BalasHapus
  10. Kita ini negara besar, yang dibesarkan dengan beragam ajaran dibawah satu payung agama. Atau mungkin dengan sistem deokrasi yang kita anut malah membuat kebijakan 'bebas' bagi diri sendiri hingga melewati batas.
    Jadi, sebenarnya artikel Komar lebih mendekatkan kita untuk mengkoreksi diri. jangan berharap 'Islam' ketika menyandang gelar "bejat".

    BalasHapus
  11. Saya sependapat dengan Mas Iskandaria. Sudah saatnya dakwah Islam mengenai ritual ibadah dikurangi, sebaliknya materi hablu minanas yang mencakup akhlaq dan etika porsinya diperpadat termasuk di lingkungan pendidikan formal.

    Tentu saja hal ini bukan berarti da'wah bertema keimanan dan tauhid tidak penting dan bukan berarti muslim di Indonesia semuanya sudah dikategorikan "benar-benar beriman".

    BalasHapus
  12. Memilih Islam sebagai agama (atau sebagai syari'at atau semacamnya) sebenarnya tak jauh beda dengan memilih baju untuk tubuh. Sebagus apa pun baju yang dipilih, yang paling berperan tentu tubuh pemakainya, dan tidak semata-mata bajunya. Kenyataan semacam itulah yang masih belum menjadi kesadaran sebagian muslim, khususnya di Indonesia. Mereka sudah cukup berpuas diri menjadikan islam sebagai agama, namun jarang menengok tubuh yang memakainya.

    Kurangnya kesadaran di atas pula yang menjadikan sebagian orang saat ini masih gembar-gembor menginginkan agar Indonesia menggunakan syari'at Islam. Lagi-lagi soal baju yang diributkan, tapi tidak mau menengok pemakainya. Kita lihat, negara yang saat ini menjalankan syari'at Islam pun memiliki perilaku yang bejat, korupsi dan suap tetap terjadi, kejahatan dan ketidakadilan tetap berlangsung, bahkan mabuk-mabukan menjadi kebiasaan sehari-hari. Jika syari'at dianggap penting, para pelakunya tetap jauh lebih penting. Artinya, meski tidak menjalankan syari'at Islam pun, peradaban dan kehidupan sebuah negara akan baik jika orang-orangnya memang memiliki akhlak yang baik.

    Ketika baju lebih diutamakan dibanding pemakainya, maka yang terjadi adalah seperti di Indonesia. Jumlah orang yang naik haji terus meningkat, tapi orang-orang miskin dan terlantar semakin banyak. Pengajian terus diadakan, tapi suap dan korupsi semakin lancar. Islam dan hukum Islam digembar-gemborkan, tapi kejahatan semakin mengerikan, dan moral semakin rusak.

    Orang-orang yang terlalu memuja baju itu mungkin terlalu lama di mall memelototi baju, sehingga tidak tahu realitas di luar dirinya.

    BalasHapus
  13. Sesamaku adalah cerminan diriku juga. Janganlah buruk muka cermin dibelah. Mari kita berlomba dengan sportif untuk mencapai tujuan akhir kehidupan ini. Selalu ada kesempatan untuk pengakuan dan koreksi, asalkan kita mau. Kita timbulkan rasa sayang-menyayangi sebagai sesama insan dan saudara dengan sungguh-sungguh memaafkan dan percaya diri.Harus ada rasa sesal sebagai ganti rasa bersalah.....dan tidak berlama-lama membandingkan diri.

    BalasHapus
  14. Pak, kalo soal salat yang terasa gagal (karena rajin salat tapi kok masih tetap bejat), saya dapat posting-an yang mungkin bisa menjawab persoalan itu.

    Ada di sini, tentang apakah hal2 yang kita lakukan sebelum salat udah benar apa belum. :)

    BalasHapus
  15. Jeprie:
    Kalau Mas Jeprie berpendapat itu sebagai sikap inferior (rendah diri) Komaruddin Hidayat karena menganggap umat Islam rendah akibat mengalami krisis moral dan silau terhadap peradapan barat, itu tidak salah. Namun, yang saya suka dari opini Komaruddin Hidayat adalah kesimpulannya. Dia memberi ruang dengan sengaja membuat opininya mirip seperti plot terbuka. Membuka dialog bila ada pihak yang tak puas atau kurang bisa menerima hasil penelitian itu bisa melakukan penelitian tandingan.

    Tetapi faktanya di negara kita bukankah memang menyedihkan bener, Mas? Semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tetap tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam. Banyak pejabat kita yang korup, yang celakanya dia mengaku sebagai seorang muslim dan pernah disumpah dengan Al Qur'an di atas kepalanya. Fakta yang menyedihkan yang lain, dari tahun ke tahun orang Indonesia yang pergi naik haji terus meningkat. Kuota haji sampai penuh dan harus menunggu waiting list sampai beberapa tahun untuk pergi berhaji. Sementara di sisi lain orang miskin dan yang masih susah makan tetap banyak.

    Kaget:
    Saya melihatnya juga begitu. Meski bagi saya cukup menyakitkan melihat fakta yang dibeberkan dalam penelitian tersebut, tapi saya lihat opini Komaruddin Hidayat ini lebih kearah mengajak kita umat Islam agar mau instropeksi mengapa hal ini bisa terjadi.

    Yuda:
    Berarti Mas Yuda lebih menekankan kesalahan ini akibat sistem dan kultur pendidikan Islam di negara kita yang salah, ya? Karena kurangnya penekanan pada pembinaan mental dan akhlak islami yang mengatur hubungan horisontal atau sosial sesama manusia.

    Hoeda Manis:
    Ya, kita memang kebanyakan begitu, seringnya malah meributkan dan menyalahkan bajunya, ketimbang menengok dan menyalahkan si pemakai bajunya yang suka tak benar memakai baju itu sendiri.

    Apa yang terjadi di negara sekuler yang justru lebih baik dari negara kita seharusnya ini bisa jadi cermin. Bukankah mereka pakai baju non Islam tapi, kok bisa mereka lebih baik dari kita yang punya baju bagus bernama Islam?

    AGEN KORAN:
    Mari, Pak. Mari fakta-fakta yang ada tersebut kita pakai sebagai cermin diri untuk instropeksi dan memperbaiki diri.

    Asop:
    Saya sudah membaca artikel melalui link yang Mas Asop berikan. Saya jadi tercenung lama dan ingin instropeksi bagaimana Sholat saya selama ini. Terima kasih linknya, Mas.

    BalasHapus
  16. Memang fakta itu ada. Tapi, tidak bisa digeneralisir bahwa itu hanya ada di kaum muslim.

    Saya mengenal beberapa teman yang aktif di ormas Islam. Mereka sangat berpegang teguh pada syariat. Dalam perkara muamalat, mereka sangat ketat. Tidak bertransaksi sebelum mengetahui hukum syara'. Memilih rugi secara materil daripada harus melanggar hukum syara'.

    Saya juga pernah mengundang seorang dai' terkenal yang mau mengisi pengajian dengan bayaran asal cukup untuk beli bensin dan sewa mobil.

    Dalam pandangan saya, merekalah orang-orang yang terbaik. Memang mereka tidak sekaya Bill Gates atau seinovatif Steve Jobs, tapi Insya Allah mereka jauh lebih mulia di mata manusia maupun mata Allah.

    Wallahu 'Alam.

    BalasHapus
  17. Kalau saya baca komentar Mas Jeprie yang terakhir, sepertinya juga ditujukan untuk saya, ya? Bener gak, Mas?

    Yah, bener apa nggak, saya mau koment lagi aja, biar nggak ada ganjalan atau salah paham. :)

    Sejujurnya, saya memang kurang respek dengan orang-orang yang suka ribut atau menyombongkan diri dengan membawa-bawa nama Islam, tapi kehidupannya tidak sesuai dengan yang digembar-gemborkannya. Tanpa bermaksud menggeneralisir, kita sama-sama tahu ada orang-orang semacam itu. Orang-orang "semacam itu"lah yang saya maksud terlalu memuja baju tapi melupakan pemakainya.

    Cerita berikut ini tidak saya maksudkan untuk unjuk diri, namun sebagai ilustrasi latar belakang sikap saya. Almarhum kakek saya (kakek dari pihak ayah) adalah ulama yang seumur hidupnya membaktikan diri untuk mengajar agama, dan tidak mendapatkan bayaran (materi) apa pun, terbukti kehidupannya tidak bisa dibilang layak. Dan kehidupan semacam itulah yang kemudian diteruskan oleh almarhum ayah saya, dan saya menilai kehidupan kami sangat berkekurangan.

    Karena itulah, saya mudah terluka jika melihat orang-orang yang (sok) gembar-gembor ceramah dan berdakwah tentang agama, mengutip ayat-ayat suci dan menyitir hadist, tapi kehidupannya jauh dari yang digembar-gemborkannya. Kita sama-sama tahu ada orang-orang semacam itu, yang kemana-mana menyuruh orang-orang miskin agar bersabar, dan menyatakan bahwa orang miskin adalah kekasih Tuhan, tapi dirinya sendiri hidup sebagai jutawan.

    Tentu saja saya menghormati (bahkan amat sangat menghormati) orang-orang seperti yang diceritakan Mas Jeprie di atas, orang-orang yang ikhlas mengajar dan berdakwah tanpa tendensi materi, dan saya berharap orang-orang semacam itu bisa lebih banyak, sehingga agama benar-benar menjadi ruh dan bukan hanya baju.

    Bagi saya sendiri, saya lebih suka beragama dan menjalankan ajaran agama dalam keheningan. Artinya, tak peduli syariat atau hukum apa pun yang digunakan sebagai sistem di negara tempat saya hidup, saya akan tetap beribadah sesuai ajaran agama saya. Lebih dari itu, saya tidak mau gembar-gembor tentang keimanan atau ketaatan saya, karena saya tidak beribadah untuk manusia.

    BalasHapus
  18. Jeprie:
    Alhamdulillah, Mas. Masih ada orang-orang seperti itu yang berpegang teguh pada syariat meski jumlahnya tak banyak. Kita sama-sama berharap semoga semakin banyak orang seperti itu disini, yang bisa menjadi teladan dan mengubah krisis moral di negeri ini. :)

    Hoeda Manis:
    Wah, komentarnya panjang sekali Mas Hoeda. Senang sekali saya menerima komentar panjang begini. :)

    Kalau saya melihat mengapa krisis moral di negeri ini terus tumbuh subur? Karena banyak orang lebih takut miskin atau tidak bisa makan daripada berpegang teguh dan menjalankan syariat Islam secara penuh, yang justru (umumnya) dijauhi oleh kemapanan secara finansial di dunia. Tidak banyak orang yang mau memilih hidup seperti kakek dan ayah Mas Hoeda ini ada di negeri ini.

    Dalam hal menjalankan agama, saya pun lebih suka seperti apa yang Mas Hoeda lakukan itu. Beberapa kali saya pernah juga diminta menjadi penceramah agama di perumahan saya tapi saya menolaknya. Saya malu karena belum bisa menjadi teladan yang baik dalam menjalankan agama sehingga dengan berat hati menolaknya.

    Kalau pun saya beberapa kali pernah menulis tentang topik agama di blog ini, saya berusaha menulis secara reflektif saja, bukan untuk berceramah. Artinya saya termasuk bagian di dalamnya dengan segala kekurangan saya tanpa malu harus menutup-nutupinya, saya ceritakan semuanya di tulisan saya.

    Terima kasih, Mas Hoeda sudah mau membagi pengalaman hidup keluarga Mas Hoeda di blog saya.

    BalasHapus
  19. Assalamu 'alaikum..
    kalau berkenan mampirlah http://sayyidahqurani.wordpress.com/2011/11/18/puncak-capaian-cinta/.
    mudahan sedikit - sedikit ada manfaatnya..
    salam ..

    BalasHapus
  20. Mas Hoeda, saya tidak menyinggung siapa pun. Hanya saja, saya ingin mengajak kita semua untuk tidak silau terhadap peradaban barat. Seolah-olah rumput tetangga selalu lebih hijau daripada rumput pekarangan kita.

    Padahal, masih ada banyak kebaikan kaum muslim. Contoh sederhana, misalnya dalam industri buku. Penulis buku Islam tidak pernah ribut mempermasalahkan materi. Bahkan satu judul buku dari timur tengah bisa diterbitkan oleh puluhan penerbit, seperti terjadi dengan La Tahzan-nya Aidh al Qharni. Ini tidak mungkin terjadi dengan buku-buku barat yang katanya lebih beradab.

    Perlu diakui bahwa barat memang memiliki kelebihan positif, misalnya teknologi dan sains. Tapi, tidak berarti kita harus mengambil semuanya. Istilah Adian Husaini, kita harus bisa membedakan mana emas mana tahi.

    Contoh lain, dalam khazanah keilmuan Islam ada ilmu hadits. Melalui ilmu ini, umat Islam saat ini masih bisa melacak ucapan rasul 1.400 tahun lampau dan memisahkan riwayat palsu dan asli. Ilmu ini tidak pernah ada di agama lain atau peradaban lain. Saat ini saja, di zaman internet dan teknologi tinggi kita masih kesulitan memverifikasi sumber data. Bayangkan, ini melacak ucapan dari 1.400 tahun yang lalu.

    BalasHapus
  21. hmmmmmmmm berat nih ceritanya :D

    BalasHapus
  22. panjang ya komen-komennya. nih saya ditutup akses facebook dan twitter yang tadinya sahabat saya. ini penjelasan tentang blognya, seorang muallaf yang mengaku taubat dari atheis dan mencerca jaringan Islam Liberal tapi ingin mati dengan sistem yang ada di Indonesia. Menghilangkan kesabaran, mencari keridhoan Allah, maunya ingin berperang untuk menghilangkan kegalauan stadium 15 katanya. ini nih statemen tentang blognya

    "Menyentuh hal atau objek dengan keobjektifan sebuah paradigma tulisan sekalipun itu terasa sulit. Gw mulai muak dengan embel-embel kebaikan tapi cuma sampah dan tekanan yang dihadapi.Simplenya hari ke-13 dari november kelabu, semua konsep dan realita tulisan itu bermulai. Gw pikir gw sudah terlanjur terjebak dalam ranah media kata, begitu juga dengan angan sisi lain yang pernah gw ukir perlahan dalam suatu lembaran. Semua terasa gak berarti, dan kata “Miris” yang bisa gw agungkan."

    Dan ini linknya http://mawatejamaya.wordpress.com/

    BalasHapus
  23. Persis seperti yang dikatakan oleh Ary Ginanjar pada saat mengikuti Training ESQ beberapa waktu yang lalu. Kebanyakan dari kita memang melakukan ibadah sebatas rutinitas, tanpa bisa memaknai secara spiritual apa pesan di dalam setiap ibadah.

    Shalat sendiri memiliki makna pembentukan karakter manusia. Andai saja orang-orang mengerti nilai-nilai apa sebenarnya yang ditegakkan di dalam shalat. Nilai-nilai yang selalu diulang-ulang 5x dalam sehari agar bisa membentuk karakter yang diharapkan.

    Mengharapkan perubahan total di Indonesia, sulit. Yang bisa kita lakukan adalah melakukan perubahan dari diri sendiri terlebih dahulu. Baru kemudian ke lingkaran keluarga, masyarakat, baru nantinya ke negara.

    Ibarat obat nyamuk, melingkar dari tengah ke luar. Nice post :)

    BalasHapus
  24. sayyidahqurani:
    Wa'alaikumsalam.
    Terima kasih sudah mampir kembali, Mbak Sayyidah.

    Jeprie:
    Terima kasih sudah mampir kembali dan memberikan tambahannya, Mas Jeprie. Saya baru tahu tentang fakta penerbitan buku-buku islam seperti La Tahzan dan ilmu yang bisa melacak hadits itu.

    honeylizious:
    Berat, terlebih harus ditambah dengan baca semua komentar2nya. :D

    Ami:
    Saya sudah mampir ke blog yang Mbak Ami sebutkan itu. Sayang sekali, ya profile atau About blognya tak jelas siapa pemiliknya. Saya agak malas baca blog kalau profilenya Anonim seperti itu, terlebih tulisannya berat dan sarat kritik sosial.

    arief maulana:
    Tulisan dari Prof Komaruddin Hidayat ini sebetulnya saya kutip disini juga seperti itu, Mas Arief. Untuk bahan instropeksi diri kita sebagai seorang muslim. Saya setuju, tentunya harus kita mulai dari diri kita masing-masing dulu, baru ke keluarga dan orang lain. Kalau hanya berharap ke orang lain tapi kitanya tidak memperbaiki diri, sama saja dengan bohong.

    BalasHapus
  25. banyak yang canggih canggih membaca alquran dengan bahasa arab dan pelafalan yang canggih canggih, namun begitu banyak yang tidak paham apa yang ia baca....
    ya... memang sudah ada lagunya pak...
    "Itulah Indonesia... " :(

    BalasHapus
  26. Jangan lupakan daerah terpencil yang masih sangat kuat ajaran agamanya pak !

    BalasHapus
  27. konon Alloh SWT mengutus Muhammad untuk menyempurnakan akhlak manusia. Kalau orang shalatnya sudah bener, konon akhlaknya akan membaik. Kalau akhlak orang masih pada buruk, maka kita layak mempertanyakan kualitas shalat kita.


    Apalagi akhlaknya kalah dengan orang yang tidak pernah shalat :)

    BalasHapus
  28. Sriyono Semarang:
    Ngono, yo Mas? Sedih yang kalau melihat yang seperti itu. Ironi sekali. :(

    Nurul Imam:
    Daerah terpencil dan desa-desa. Betul, Mas Imam mereka termasuk yang pengecualian.

    Jarwadi:
    Itulah, Mas seharusnya kita bercermin. Ada orang yang tak beragama dan tak pernah Sholat aja bisa baik akhlaknya. Seharusnya kita yang sudah beragama harus lebih baik. Karena, bukankah di pendidikan semua agama telah diajarkan untuk berbuat baik?

    BalasHapus
  29. FYI: Kalau kita melihat sejarah, tidak semua agama mengajarkan kebaikan pak.

    Di Indonesia zaman dahulu, ada agama pagan (penyembah berhala) yang salah satu ritualnya mengorbankan gadis perawan lalu meminum darahnya. Ini tergambar di salah satu candi lokal. Saya baca ini di artikelnya Adian Husaini.

    Talmud, kitab suci Yahudi selain Taurat, mengajarkan faham rasisme yang sangat tidak manusiawi. Salah satu isinya menyamakan orang di luar Yahudi dengan binatang dan boleh dibunuh. Ini saya baca di bukunya DR. Muhammad asy-Syarqawi, Talmud - Kitab Hitam Yahudi yang Menggemparkan.

    BalasHapus
  30. Jeprie:
    Oh, kata-kata generalisasi saya semua agama mengajarkan berbuat baik sepertinya perlu dinote lagi, dalam tanda kutip ada yang tidak, ya? Terima kasih, Mas Jeprie atas koreksinya, dan juga tambahannya. :)

    BalasHapus
  31. benar sekai negara kita ini mayoritas beragama islam, namun sayangnya yang beragama islam tidak mengenal lebih jauh tentang islam, tidak yakin sebenarnya yang hak disembah itu adalah Allah dan tidak mengenal sosok nabi Muhammad SAW.jadi jangan heranlah kalu solat, puasa, zakat nya itu tidak mempengaruhi prilakunya.
    namun beda dengan orang yang mengkaji lebih dalam tentang islam, jika ia solat dengan khusuknya...jelas prilakunya pasti baik...dan ini banyak di sekitar kami orang2 seperti itu.
    jadi tidak semuanya keislaman orang2 kita cuman ritual saja...cuman orang yang tidak mengerti islam saja yang seperti itu.

    BalasHapus
  32. menarik sekali mas..
    saya juga merasa kasian dengan fenomena kaum muslimin Indonesia yang mendominasi dari segi jumlah tapi kalah dari segi kualitas..sebenarnya kita tak menyalahkan sistem islam sendiri, karena islam sudah sempurna yang kita masalahkan adalah individu2 yang ada di dalam sistem itu sendiri yang belum bisa menyadari hakekat islam yang sesungguhnya..

    BalasHapus
  33. azhar & crazyhusband:
    Contoh teranyar yang saya alami sendiri adalah bagaimana kepatuhan menjalankan agama ternyata tak berpengaruh positif terhadap akhlaq. Peristiwa yang saya alami ini terjadi dengan wanita Aceh, buyer online saya. Seorang wanita muslimah yang katanya tinggal di daerah yang menggunakan syariat Islam sebagai hukum disana tapi, ya tetap menipu juga. Terus terang saya sedih mendapati kenyataan seperti ini.

    BalasHapus
  34. SAYA JUGA MENDAPATR PENGALAMAN YANG SAMA TTG PERILAKU ORANG-ORANG DI NEGARA YANG NON-MUSLIM SPT. AUSTRALIA, JEPANG, BELANDA, PERANCIS, YANG LEBIH ISLAMI DARIPADA KITA YANG M,USLIM DAN BAHKAN ORANG ARAB DI ARAB SAUDI SENDIRI. MENURUT SAYA ITU KARENA TEMAN-TEMAN KITA ITU KURANG MEMAHAMI TTG ISLAM YANG MENGIRA CUKUP DENGAN SHOLAT, PUASA, MEMBACA AL QUR'AN SUDAH CUKUP SEBAGAI MUSLIM, PADAHAL HUBUNGAN BAIK DENGAN ALLAH SWT TIDAK LENGKAP TANPA HUBUNGAN BAIK DENGAN MANUSIA

    BalasHapus
  35. SUCIK:
    Anda sudah sering ke luar negeri? Faktanya memang menyedihkan. Dalam beragama ada hubungan vertikal kepada Tuhan dan horisontal yang mengatur hubungan antara sesama manusia. Sayangnya, umumnya kita banyak yang timpang dalam menjalankan agama ini.

    BalasHapus
  36. hm..saya pernah melihat mengenai beberapa artikle tentang islam dan perdebatan yang ada didalamnya?!?!?

    well isinya membingungkan saya!?!?!

    BalasHapus
  37. Kondisinya saat ini Umat Islam Indonesia jadi pengikut paham sekuler ; memisahkan urusan agama dengan urusan sosial kemasyarakatan.
    Contoh kecil yg cukup mewakili kondisi perilaku sebagian besar umat Islam saat ini.
    Sering kita temui pembangunan2 masjid dengan meminta sumbangan di jalan2, dengan mengambil space jalan umum, yg kebetulan jalan tersebut juga sedang rusak dan mereka sepertinya tidak peduli dengan kondisi jalanan yg rusak tersebut membahayakan orang yg melintas, dan menyebabkan kemacetan. Mereka tetap "semangat" menyodorkan jaring kepada para pengguna jalan yg bermacet macetan terhambat karena keberadaan mereka dan kondisi jalan yang rusak.
    Mereka lupa bahwa ajaran Islam itu sederhana, menyingkirkan duri dari jalanan itu pun sudah perilaku Islami.

    BalasHapus