twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Senin, 31 Oktober 2011

Fadel Muhammad: Sesendok Garam Itu Asin Tapi Sekapal Garam Adalah Manis

Fadel Muhammad
Sebelum saya menceritakan tentang sosok menarik Fadel Muhammad dalam post ini, saya ingin memberikan overview sedikit tentang penulisnya, Rhenald Kasali. Siapa yang tidak kenal dengan sosok profesor ekonomi yang satu ini? Hem, saya yakin sebagian besar dari Anda pasti sudah pernah kenal atau minimal pernah dengar nama ini, benar?

Saya beruntung dalam sebuah kesempatan pernah bertemu dengan Rhenald Kasali sewaktu awal tahun 2009 lalu beliau diundang jadi pembicara di perusahaan saya. Saya beruntung jadi tahu dan mengenal sosok beliau dengan lebih dekat, sama seperti saya akhirnya bisa mengenal sosok Hendrik Lim, MBA yang pernah juga awal tahun 2011 diundang perusahaan saya. Dan siapa sangka akhirnya saya berjumpa dengan beliau (Hendrik Lim, MBA) lagi secara lebih personal melalui blog ini meski untuk saat ini baru dari dunia maya.

Mudah-mudahan suatu saat saya pun bisa berjumpa kembali dengan Pak Rhenald Kasali sama seperti rencana dalam waktu dekat ini saya akan bertemu kembali dengan Pak Hendrik Lim, MBA.

Setiap kali saya membaca tulisan-tulisan Rhenald Kasali yang banyak tersebar di media, saya seperti sedang mendengar gaya bertutur beliau saat berbicara di depan kami dua tahun yang lalu. Dan yang paling berkesan adalah bagaimana sikap dan pandangan-pandangan beliau tentang kebijakan ekonomi yang ada di negeri ini. Opininya bernas, kritiknya tajam namun elegan karena penuh dengan sodoran contoh-contoh fakta, sangat sulit terbantahkan.

Saya melihat sosok Rhenald Kasali lebih pas sebagai seorang praktisi ekonomi ketimbang sosok akedemisi meskipun beliau seorang dosen, profesor dan guru besar Fakultas Ekonomi UI. Itu kesimpulan saya yang awam dan masih dangkal ilmu ekonominya.

Nah, kali ini saya akan sharing tulisan beliau yang dimuat di Koran Seputar Indonesia hari Kamis, 27 October 2011. Sengaja artikelnya saya kutip ke blog ini sebagai penebus kesalahan saya akibat kemarin telah beropini salah. Saya salah karena telah mengkritik Fadel Muhammad di artikel ini “Ada Saatnya Anda Harus Pergi Lengser”. Saya mengkritik Fadel tidak legowo menerima resuffle kabinet, padahal Fadel-lah orang yang sebetulnya paling pantas untuk dipertahankan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan di kabinet SBY.

Mengapa Fadel Muhammad sampai dicopot? Baca dan temukan jawabannya di tulisan Rhenald Kasali di bawah ini.

***

Fadel Muhammad
Oleh: Rhenald Kasali

Secara pribadi saya tidak mengenalnya, bahkan bertemu saja baru satu kali. Itu pun di sebuah forum resmi, dalam diskusi tentang ekonomi kelautan yang diselenggarakan Radio Smart FM di Medan beberapa bulan lalu.

Namun, sejak Indonesia kehilangan Jusuf Kalla sebagai ”pendobrak” dan ”penggerak” ekonomi yang tidak pernah diam dalam ide, saya menemukan sosok ”bergerak” pada Fadel Muhammad. Selain tangannya dingin, kakinya ringan bergerak. Seperti yang sering saya katakan kepada para ekonom muda, ekonomi Indonesia ini bukannya kereta api otomatis yang cuma butuh jari untuk dijalankan.

Ekonomi kita adalah sebuah kapal besar yang tak akan bergerak kalau hanya dipikirkan. Ekonomi kita butuh a real entrepreneur yang piawai menggerakkan, melakukan breaktrough dan siap berperang melawan para mafioso. Jadi, pemimpin seperti inilah yang kita butuhkan, bukan harus dikurangi, tetapi perlu diperbanyak. Sayang kalau kita mengabaikannya.

Berperang Melawan Belenggu

Fadel mengagetkan kita saat dia maju berperang melawan ”beruang-beruang ekonomi” yang memaksa Indonesia melakukan impor komoditas tradisional yang banyak dikonsumsi rakyat. ”Beruang-beruang” itu tidak hanya memasukkan barang, melainkan juga menyodorkan data-data yang sudah dipoles yang seakan- akan kita sudah kekurangan segala komoditas dari beras, daging sapi,sampai garam, dan bawang merah. Pokoknya semua kurang dan mengancam inflasi.

Lalu apalagi kalau bukan harus impor? Kita melihat Fadel maju ke depan membongkar kontainer-kontainer berisi ikan kembung yang diselundupkan ke pasar Indonesia. Bukan cuma ikan kembung. Ternyata ikan lele dari Malaysia yang sangat mudah dikembangbiakkan di sini juga membanjiri pasar domestik melalui perbatasan Kalimantan, Pelabuhan Belawan, dan pelabuhan-pelabuhan penting lainnya.

Dari ikan kembung dia bergerak menyelamatkan industri garam rakyat yang bertahun-tahun digempur para importir bangsa sendiri. Impor-impor seperti itu jelas sangat berbahaya bagi masa depan bangsa ini.Harga impornya boleh sangat murah, dipasarkan dengan dumping atau tidak, tetapi perlahan-lahan mematikan ekonomi rakyat yang tersebar di seluruh pesisir Nusantara.

Setelah pertanian terpuruk, kini petambak garam pun dibunuh bangsa sendiri. Fadel-lah yang menuntut agar harga dasar garam rakyat dinaikkan. ”Kalau petambak hanya menerima Rp325 per kilogram, bagaimana mereka bisa hidup?”gugatnya. Dia pun mengusulkan agar dinaikkan menjadi Rp900. Petambak garam tentu senang dan mereka bisa kembali bekerja.

Tetapi kabar itu tak berlangsung lama karena kita mendengar Kementerian Perdagangan hanya mau menaikkan sampai ke Rp700. Itu pun beredar kabar ada saja pejabat—yang berdalih atas nama pasar bebas—tak mau tanda tangan. Petambak bisa jadi senang kepada Fadel, tetapi importir dan pemberi lisensi impor belum tentu.

Petani Tambak Garam
Petambak Garam

Kalau petambak garam dimanjakan Presiden, mereka bisa kembali menyekolahkan anak-anaknya dan makannya bisa lebih terasa enak.Mereka akan giat berproduksi dan impor garam akan hilang. Apakah benar inflasi akan terjadi hanya karena harga garam naik? Beberapa orang meragukannya, pasalnya harga dari petani yang rendah tidak menjamin harga kepada konsumen ikut rendah.

Bahkan impor murah sekalipun hanya menjadi alasan bagi importir untuk menguasai pasar.Harga akhir yang dibayar konsumen pun tetap saja tinggi. Lantas kalau harga dasar petambak dinaikkan, bagaimana nasib importir? Tentu mereka tidak tinggal diam. Menteri Perdagangan—atas nama perjanjian dagang yang dipayungi WTO—dan kita semua yang pernah belajar teori ekonomi, boleh saja percaya pada kompetisi dan pasar bebas.

Tetapi secara moralitas,tak ada bangsa yang secara tulus dan ikhlas membuka pasarnya secara bebas, murni 100%. Hanya bangsa yang bodohlah yang membiarkan pintunya dibuka lebar-lebar dan membiarkan ”beruang-beruang ekonomi” menari-nari memorak- porandakan pasar domestiknya.

Sementara pasar timbal-baliknya dibarikade dengan standar dan peraturan-peraturan yang tidak bisa ditembus. Anda tentu masih ingat betapa sulitnya produk-produk kelautan kita menembus pasar Amerika dan Eropa. Ketika Indonesia membuka pasar perbankan begitu leluasa bagi bank-bank asing, misalnya, Bank Mandiri kesulitan membuka satu saja cabangnya di Kuala Lumpur.

Apalagi membuka cabang dan jaringan ATM. Di Eropa kita juga melihat betapa sengitnya bangsa-bangsa yang percaya pada pasar bebas membuka pasar industri keju lokalnya dari gempuran keju buatan Kraft yang diproduksi secara massal. Di Amerika Serikat masih dalam ingatan kita pula, barikade diberikan kepada China saat CNOOC (China National Offshore Oil Corporation) berencana membeli perusahaan minyak Amerika (UNOCAL).

Sejumlah anggota kongres menekan Presiden Bush (2005) agar pemerintah membatalkan proposal China tersebut. Keju,minyak,udang,kopi,kertas, minyak sawit, atau tekstil sekalipun selalu dihadang masuk kalau industri suatu bangsa terancam. Jadi apa yang terjadi dengan lisensi impor di negeri ini? Sebuah keluguan atau kesengajaan? Bisakah kita memisahkan perdagangan dari pertahanan dan keamanan kalau wujudnya sudah mengancam kehidupan? Siapa peduli?

Pro-Poor

Maka sangat mengejutkan saat pekan lalu kita membaca Fadel Muhammad tidak lagi menjalankan tugas negara sebagai menteri kelautan dan perikanan. Sebagai warga negara kita mungkin terlalu rewel untuk mempersoalkan pencopotannya sebab semua itu adalah hak Presiden. Tetapi bagi seorang yang menjalankan misi Presiden yang pro poor–pro growth dan pro job, saya kira pantas kalau nada sesal layak kita ungkapkan.

Dia justru diganti karena membela kepentingan rakyat, pro-poor. Ibaratnya dia tengah berada di garis depan melawan ”beruang-beruang ekonomi” yang hanya memikirkan keuntungan sesaat dengan ”membeli” lisensi impor yang mematikan hak hidup rakyat jelata. Saya sebut mereka ”beruang ekonomi”karena seperti yang dikatakan Fadel, sesendok garam itu asin,tapi sekapal garam adalah manis.

Hanya beruanglah yang mampu mengendus rasa manis itu. Tahukah ”beruang-beruang ekonomi”itu bahwa petambak-petambak garam dan nelayan adalah penjaga perbatasan yang melindungi negeri dari segala serangan. Apa jadinya negeri ini bila hidup mereka dilupakan?
Bukankah lebih baik menjaga pertahanan perbatasan dengan memberikan kapal-kapal yang bagus dan pekerjaan yang menarik kepada para nelayan daripada membeli kapal perang yang tak pernah cukup untuk menjaga bibir-bibir pantai yang begitu luas?

Maka yang mengejutkan publik sebenarnya adalah mengapa bukan ucapan terima kasih dan bintang yang disematkan pada Fadel; melainkan serangkaian ucapan defensif dari kelompok-kelompok tertentu?

Karena itu, melalui tulisan ini, saya justru ingin memberi motivasi yang tulus agar Fadel Muhammad tidak berhenti sampai di sini,melainkan terus berkarya bagi kaum papa, petani-petani garam, dan para nelayan yang ”kalah” bukan dari persaingan bebas, melainkan dari ”beruang-beruang ekonomi”yang menjual negeri melalui lisensi impor.

Seorang pemimpin sejati tidak memimpin hanya karena dipanggil tugas.Pemimpin sejati bertugas karena panggilan. Saya senang membaca berita bahwa Fadel telah kembali bekerja dengan Yayasan Garamnya. Selamat bergabung di sektor ketiga. Inilah sektor kemandirian yang bekerja murni untuk memberantas kemiskinan.

Inilah sektor non-APBN yang memanggil orang-orang yang mau berjuang tanpa pamrih. Asosiasi Kewirausahaan Sosial yang saya pimpin tentu senang menyambut Fadel.Saya percaya Fadel pasti bisa berbuat lebih besar karena dia punya kekuatan perubahan yang justru tak dimiliki politisi lain. Simpati besar dari rakyat untuk Fadel layak kita sematkan.  RHENALD KASALI Ketua Program MM UI

Sumber Foto: rachelhulin.com


Bookmark and Share

25 komentar:

  1. Saya rasa saya melewatkan tulisan Pak Joko yang sebelumnya.

    Namun di luar itu, saya juga bertanya-tanya, mengapa Fadel Muhammad malah keluar dari jajaran kementrian, setahu saya kinerja baik, setidaknya dia terdengar cukup baik ketimbang beberapa menteri lainnya. Apakah penggantinya lebih baik?

    Saya kurang tahu, tapi jika penggantinya tidak lebih baik kinerjanya dari beliau, tentu akan sangat saya sayangkan, apalagi ternyata tidak bisa sebaik beliau, wah, itu sudahlah, tidak usah dipertanyakan lagi #capek.

    BalasHapus
  2. aroma politik busuk dari rezim SBY sangat kental tercium baunya...intrik adalah faktor di gantinya fadel..

    __________________________________________

    dulu di antv pernah ada talk show Rhenald bersama presenter wanita,tahun 90an ingat saya...
    mengapa dengan kualitas seorang Rhenald Kasali tidak ada satupun stasiun tv yang membuat program talk show seperti pada beberapa tahun silam?

    BalasHapus
  3. wah,terimakasih pak joko, telah membagikan opini p rhenald kasali di sini. sudah lama saya tidak membaca opini beliau :)

    BalasHapus
  4. Miris ya, negeri kita kaya tapi masih dicengkram beruang kuku panjang yang seakan akan menyakar bangsanya sendiri. Tapi, Fadel sepertinya mulai menggigit disaat saat akhir tahun ini dan kedepan. Ada maksud lain selain 2013? :D

    BalasHapus
  5. Cahya:
    Saya kemarin sempat salah sangka karena media dengan sangat baik menggoreng berita sensasional seputar pencopotan Fadel Muhammad ini, Mas. Dan ternyata saya salah.

    Penggantinya sesama dari kader Golkar. Ada yang berpendapat ini strategi memecah belah SBY terhadap Golkar dengan mengadu domba kader-kader internalnya. Ya, begitulah politik.

    wid:
    Sebelum saya menulis ini saya sempat Googling dan banyak baca opini seputar pencopotan Fadel ini. Ya, aroma konspirasi politik sangat terasa tercium dalam pencopotan Fadel Muhammad, Mas. :(

    Tahun 90? Saya belum pernah lihat, Mas. Beberapa kali pernah lihat Rhenald Kasali di TV. Salah satunya pernah diwawancarai di acara Kick Andy.

    jarwadi:
    Sama-sama, Mas. Sepertinya Rhenald Kasali sudah jadi kolomnis di koran Sindo. Saya sering lihat opini dan esainya di muat disana.

    Kaget:
    Memang miris kalau melihatnya, Mas. Inilah bentuk penjajahan gaya baru. Pelaku ekonomi menjajah bangsa sendiri dengan berkolusi sama pejabat. Siapa yang pro rakyat justru ditendang. :(

    BalasHapus
  6. Beginilah di Indonesia, orang yang ingin bekerja untuk kepentingan banyak orang selalu mendapat tekanan... Saya juga agak menyayangkan kenapa pak Fadel di ganti padahal track recordnya selama di Kabinet cukup bagus dan jarang mendapatkan kritikan apalagi pemberitaan negatif dari media... Mereka yang justru mendapatkan sorotan atas berbagai kasus yang terjadi di kementriannya justru duduk dengan enaknya, kalaupun lepas sebuah kursi mereka justru diberikan kursi yang lain...

    Btw sorry pak kalau OOT, kenapa ngga kelihatan waktu acara kopdar Blogger Nusantara?

    BalasHapus
  7. tahun 98an pernah ada acara talk show Rhenald dengan presenter cantik Feny Rose,saya ingat itu mas...jam 21.30bbwi di antv...

    format acara mirip2 Kick Andy,selalu ada pembagian buku buat pemirsa,tema yg di ulas berat,tapi pembahasannya ringan dengan bahasa yang mudah di mengerti....

    BalasHapus
  8. bro eser:
    Benar, padahal ada menteri lain yang sudah diindikasikan tersangkut kasus korupsi tapi malah masih tetap dipertahankan oleh SBY. Aneh. Ini jelas-jelas ada konspirasi politik di dalamnya.

    Saya kemarin tak bisa datang di acara kopdarnya, Bro. Karena Jumat saya masih ngantor. Dan hari Sabtu sempat mau berangkat dari Jogja tapi tidak jadi karena ada halangan. Mudah-mudahan tahun depan ada kesempatan buat ikut kopdarnya dan ketemu sama Bro Eser.

    wid:
    Tahun 98? Sudah lama sekali, Mas. Itu jaman saya masih susah kayaknya. Seringnya dulu saya malah nonton acara Planet Remaja kalau di ANTV. Hahahaha....

    BalasHapus
  9. Salut buat Pak Rhenald Kasali dan turut sedih untuk Bung Fadel Muhammad bravo untuk Mas Joko
    Tidak terbayangkan kalau kita memiliki pejabat yang pro-poor saja bisa di gusur karena kalah dengan politik? lalu siapa dan kapan rakyat akan merasakan manisnya sekapal garam yang memang benar-benar asiin..bila hanya sesendok.

    BalasHapus
  10. Sudah menjadi rahasia umum kalau di negeriku ini orang yang memperjuangkan hak-hak rakyat akan cepat tergilas oleh roda kekuasaan yang tidak pro rakyat. Sudah banyak cerita dari orang2 yang sengaja di singkirkan karena "membahayakan" kantong dari sang Penguasa.

    Saya sendiri tidak bisa menilai fadel sendiri karena memang tidak punya bahan bacaan tentang dirinya.

    Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

    BalasHapus
  11. Shafira:
    Iya, kita patut sedih, Mbak. Kapan rakyat kecil berhenti ditindas. Susah kalau para pelaku ekonomi negeri ini sudah KKN dengan para penguasa. Tapi kabar baiknya Fadel setelah tidak jadi menteri kini mendirikan Yayasan Garam buat membantu para petambak garam. Kita patut memberikan apresiasi buat Pak Fadel.

    Sugeng:
    Sedih, ya Mas melihat kenyataan-kenyataan seperti itu. Apa jadinya negeri ini kalau para pemimpin dan penyelenggara negaranya terus seperti itu, tidak pro rakyat. :(

    BalasHapus
  12. terima kasih......semoga tulisan ini menjadi bermamfaat bagi semua orang...sukses menjadi milik anda, jadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini.. salam...

    BalasHapus
  13. Wah, Pak, makasih banyak sudah mem-posting mengenai Pak Fadel. Begitu saya tahu yang dibahas adalah beliau, saya gak teralihkan dari layar laptop. :) SAya mengidolakan beliau. Sungguh, saya senang sekali dengan bacaan ini. Untungnya, saya tidak membaca posting-an Pak Djoko yang salah mengenai Pak Fadel itu. :D

    BalasHapus
  14. Saya Takut untuk berbicara politik, karena politik bukan bidang saya.... Tulisan yang menarik pak.... Saya sudah membacanya....

    BalasHapus
  15. Sampai kapanpun orang yang memiliki jalan-rekam yang baik takkan pernah bisa bertahan lama-akan senantiasa cepat-cepat di putar haluannya :)

    BalasHapus
  16. banyak ilmu dan wawasan yang saya dapatkan disini, khususnya yang aku baca saat ini tentang berita media, terimakasih dan salam ukhuwah wahai sauadaraku.

    BalasHapus
  17. salman:
    Sama-sama. Terima kasih atas kunjungannya.

    Asop:
    Postingan yang kemarin lebih tepatnya saya menyoroti Fadel Muhammad yang tidak legowo menerima resuffle kabinet. Nah, setelah tahu alasanya saya baru tersadar. Pantas saja kalau seperti itu kejadiannya sehingga Fadel terkejut dengan pencopotannya. Apalagi SBY katanya tak memberitahu sebelumnya.

    Zonapedia:
    Sama, Mas. Saya juga kurang paham dengan politik. Makanya sempat salah sangka sama Fadel di postingan yang kemarin. Untung lah ada tulisan menarik dari Rhenald Kasali ini.

    adetruna:
    Kasihan, ya Mas Ade nasibnya jadi orang baik? Diputar terus. :D

    Bersama Dakwah Islam:
    Terima kasih, senang menerima kunjungan persaudaraan dari Anda. :)

    BalasHapus
  18. Beruang2 itu perlu digantung. apa jadinya,sama warga sendiri tidak kasihan. . mawnya menang sendiri .. andai beruang itu berbalik menjadi nelayan yang miskin ?

    BalasHapus
  19. Setiap masa punya cerita. Dan kali ini cerita berkisah seputar Pak Fadel. Saya yakin bahwa "Becik Ketitik Ala Ketara" Siapa yang baik pada nantinya akan ketahuan. :)

    BalasHapus
  20. ada-akbar.com:
    Beruang-beruang itu memang egois, Mas. Hanya mementingkan kepentingan perutnya sendiri, tidak peduli dengan kepentingan orang banyak. Mereka tak pantas hidup disini.

    Agus Siswoyo:
    Sebaliknya, siapa yang korup juga tinggal menunggu waktu saja, Mas. Nanti pasti akan ketahuan.

    BalasHapus
  21. wuih, bahasanya mantap. dalam banget....
    semoga saya bisa jadi orang besar yang bijak, tidak seperti mereka.

    BalasHapus
  22. wah...
    salut u pak fadel.
    terima kasih postingan artikelnya

    BalasHapus
  23. Marko Opuli & ina de'shulo:
    Sama-sama terima kasih sudah mampir ke blog saya.

    BalasHapus
  24. Tapi kenapa ya bangsa kita orang yang memiliki pandangan seperti pak fadel malah gak dipakai dan dianggap musuh, jadi kapan bangsa ini maju?

    BalasHapus
  25. nah.. sekarang saya jadi mengidolakan Fadel Muhammad. meski telat juga saya membaca artikel ini. Menyedihkan memang, ketika mereka yang pro-poor malah didepak demi kepentingan mafioso.

    BalasHapus