twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Rabu, 02 Februari 2011

Twitter, Benarkah Sebuah Ancaman?

Ancaman TwitterAda tulisan menarik yang ditulis oleh Butet yang berjudul: "Jama’ah Al Twitteriyah" yang saya baca dari milis Telematika. Butet Kartaredjasa menulis tentang Twitter dan coba berimajinasi ke masa lampau bagaimana jadinya kalau Twitter misalnya sudah lahir di era Pangeran Diponegoro. Apa jadinya?

Apa jadinya lagi jika kelak manusia modern seperti sekarang ini yang sudah serba maya, tak bisa lagi dijamah kemanusiaannya karena mereka telah menjelma jadi kepingan angka dan huruf saja.

Itu pernyataan menarik yang telah dilontarkan oleh Butet dan menurut saya sangat dalam sekali maknanya karena membuat kita jadi merenung.

Dan kalau ini saya coba kaitkan dengan pernyataan kontroversial Menhan Purnomo Yusgiantoro beberapa waktu yang lalu yang mengatakan kalau Twitter adalah sebuah ancaman nonmiliter bagi sebuah negara maka tulisan Butet ini sangat relevan untuk menjawab fakta yang dikuatirkan Pak Menhan tersebut.

Namun, kalau saya boleh berpendapat ketakutan Pak Menteri di sisi lain juga terlalu berlebihan kalau menyikapi Twitter sebagai sebuah ancaman. Buktinya, tak semua gejolak sosial dan ketidakadilan yang ada di negeri ini sukses mencuat dan menuai dukungan massa dari Twitter atau social media.

Anda ingin contoh? Kasus Lapindo salah satunya. Kenyataannya dukungan social media tak sekencang dukungan terhadap kasus Prita Mulyasari meskipun faktanya bencana Lapindo lebih menyengsarakan banyak orang, termasuk saya (penulis) ketimbang kasus Prita yang menimpah hanya satu orang saja. Jadi kesimpulan saya tetap ada faktor lain yang menjadi pemicunya selain hanya sekedar mempermasalahkan Twitter saja.

Urusan blokir-memblokir internet memang menjadi isu sensitif, bahkan di negara Mesir sampai saat tulisan ini saya tulis masih berlangsung pemblokirannya sehingga otomatis akses ke internet, salah satunya ke situs social media seperti Twitter juga menemui kendala di sana.

Untungnya akhirnya Google Inc meluncurkan layanan khusus yang memungkinkan rakyat di Mesir mengirim pesan Twitter (tweets) mereka dengan menghubungi nomor telefon dan menyiarkannya lewat pesan suara. Lalu pesan suara tersebut secara otomatis diterjemahkan menjadi pesan yang dikirim di Twitter.

Berikut adalah kutipan selangkapnya tulisan dari Butet yang dimuat dalam majalah pesawat Garuda mengenai Twitter. Selamat Membaca.

Jama’ah Al Twitteriyah
Oleh: Butet Kartaredjasa

BAGAIMANA KALAU di zaman perang Diponegoro, 1825-1850, sudah ada Twitter? Pasti cerita sejarah akan beda! Itu memang pertanyaan iseng imajinasi kita bisa melayang ke mana-mana untuk menjawabnya. Jika memang era digital datang lebih awal, aneka kisah yang selama ini dikenal sebagai ikon historis akan berwarna lain. Tentu orang tidak akan menemukan gambaran heroik Sang Pangeran memacu kuda dengan menghunus keris seperti selalu digambarkan dalam lukisan dari patung perjuangan. Bisa jadi komunikasi Sang Pamngeran kepada para panglima perang di lapangan cukup dikendalikan lewat Twitter. Bahkan solidaritas sosial membarung kemarahan terhadap Kompeni Belanda kemungkinan tidak hanya membakar hati orang jawa, namun juga orang se-Nusantara akan ramai-ramai terprovokasi berjihad di tanah Jawa, sama persis dengan kekuatan daya hasut Facebook ketika membela Prita yang suatu kali berhasil memetot emosi manusia untuk menyokong perlawanannya terhadap rumah sakit yang berseteru dengannya.

Dan sebaliknya, Twitter juga bisa menuntungkan VOC. Kompeni Belanda tentu saja tak bakal kobol-kobol anggarannya melayani Perang Jawa. Menangkap Sang Pangeranpun tentu semudah pencet tombol karena posisi persembunyian segera diketahui satelit VOC. Dengan kekuatan budaya digital yang luar biasa itu, bagi kedua pihak, semuanya jadi mudah dilakukan. Serba Hemat.

Seru, kan? Apalagi kalau kemudian kita mengimajinasikan tentetan peristiwa demi peristiwa selanjutnya. Bisa jadi kita enggak bakalan mengenal teks Proklamasi tulisan tangan Bung Karno yang goresannya sangat karakteristik itu, karena jangan-jangan Bapak Bangsa itu akan menciptakan naskah Proklamasi tak lebih dari 140 karakter huruf.

AJAKAN BERFANTASI ini semakin menyadarkan, betapa kuat dan dahsyatnya media sosial itu berperan mengubah masyarakat. Revolusi teknologi digital itulah penyebabnya. Dengan mengimajinasikan peristiwa masa lalu, orang lalu membayangkan betapa masa depan akan semakin diwarnai perubahan yang serba muskil dan ganjil. Semua serba tak terduga. Kekuatan imajinasi sepertinya akan selalu terlambat membayangkan percepatan perubahan itu. Selagi orang ingin membayangkan, teknologi informasi berbasis digital memberikan jawaban selangkah lebih maju dari yang sekadar dibayangkan.

Kitapun tahu, temuan-temuan baru inovatif yang semula menunjukkan kecerdasan akal budi manusia, terkadang justru tanpa sengaja membunuh tradisi dan kebudayaan yang sebelumnya telah hidup mengakar. Bersamaan dengan dimudahkannya masyarakat dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan oleh teknologi informasi, masyarakat pelan-pelan akan kehilangan adat istiadat, tata krama, dan nilai-nilai lain yang sebelumnya mewarnai kehidupan kebudayaan.

Hari ini manusia Jawa masih selalu terlihat santun, kepala menunduk tatkala menghadap atasannya. Percayalah, tak sampai setengah abad lagi, adegan seperti itu mungkin hanya bisa dinikmati dalam diorama museum antropologi. Teknologi seluler menhancurkan batas-batas hubungan atasan bawahan, karena mereka lebih enjoy berkomunikasi melalui SMS. Tak ada lagi ketegangan garis komando antar jendral dengan kopral, antara sultan dengan abdi dalem, antara presiden dengan jubir. Bahkan saking egaliternya hubungan antar manusia, mereka bisa saling ledek melalui Twitter dan Facebook.

Sekarang gejala perubahan itu terlihat gamblang. Berbagi ilmu pengetahuan tak harus melalui celoteh dosen di depan ruang kelas. Kini banyak jama'ah Al Twitteriyah (maksudnya para pemilik akun Twitter) membagi kepandaian dan pengetahuannya melalui apa yang diistilahkan “kultwit” (kuliah twitter). Aneka isu mutakhir dan persoalan-persolaan kontemporer di bidang politik, filsafat, ekonomi, sosial dan budaya dikuliahkan secara nirbayar alias gratisan. Para follower bisa menyantap pengetahuan dimana saja. Sebuah tradisi pembelajaran yang berubah revolusioner. Selain dengan browsing serapan pengetahuan, bisa datang dari mana saja. Dari ruang kelas masuk ke ruang super privat.

Dengan kedahsyatan yang luar biasa ini, kitapun lalu bertanya, kelak masih adakah stamina orang melakukan kegiatan baca buku dengan intens? Masih tersediakah waktu untuk mendengarkan wejangan guru? Apakah nantinya orang masih bisa merasakan kehangatan persahabatan antar manusia. Saya justru khawatir kalau kelak manusia serba maya, tak bisa lagi dijamah kemanusiaannya karena mereka telah menjelma jadi kepingan angka dan huruf saja.

Sumber Foto: Twitter


Bookmark and Share

8 komentar:

  1. Teknologi baru adalah keniscayaan. Kita harus berkembang dan beradaptasi dengannya.

    Yang penting kita harus bisa membedakan mana teknologi dan mana pemikiran. Untuk pemikiran --ideologi istilah lebih tepatnya-- kita harus memiliki pegangan kuat, misalnya melalui agama. Untuk teknologi yang sifatnya bebas nilai, kita harus menguasai.

    Mengenai ancaman, sebetulnya apa pun bisa jadi ancaman. Koran, leaflet, majalah, brosur, poster, blog, tweet, status, semuanya berpotensi jadi ancaman. Masa semua harus diblokir? Yang penting ada parameter jelas, membedakan mana yang membahayakan dan mana yang tidak. Jangan pasal karet.

    Alur logika pemikiran Pak Menteri ini aneh. Saya sama sekali tidak ngerti.

    BalasHapus
  2. Menarik sekali menyimak tulisan Butet di atas. Itulah salah satu konsekuensi dari perkembangan teknologi informasi. Tinggal manusianya saja bagaimana menyikapinya. Yang tidak siap mungkin akan jadi korban. Misalnya jadi kecanduan update status atau ngetwit yang nggak penting banget.

    Yang lucu, beberapa teman saya malah berantem di facebook. Padahal bisa diselesaikan di dunia nyata secara kekeluargaan :D Anehnya lagi, mereka kalo di dunia nyata terkesan cuek bebek satu sama lain. Namun ketika di dunia maya malah terlihat akrab dan suka ledek-ledekan.

    Weh, ternyata orang sudah mulai lebih merasa nyaman bergaul di dunia maya ketimbang di dunia nyata.

    BalasHapus
  3. Dalam istilah yang klise, semua kembali pada penggunanya.

    Hanya saja, faktanya, teknologi (semacam twitter dan semacamnya) sering membuat orang terlena ketika menggunakannya, sehingga dunia nyata semakin terkikis dunia maya, dan manusia semakin kabur realitasnya. Ini, seperti yang dikhawatirkan Butet, yang dapat membuat krisis kemanusiaan.

    Kuncinya tentu edukasi, dalam hal ini edukasi atas penggunaan teknologi. Tapi ini bukan persoalan mudah. Karena nyatanya banyak negara yang nggak mampu melakukannya. Mungkin diperlukan seorang nabi untuk melakukan hal ini. :)

    Oya, Pak Joko, trims untuk infonya about buku saya. Hehe, saya malah nggak tau, karena nggak sempat nge-cek.

    BalasHapus
  4. Twitter nggak jauh beda dengan Facebook. Dia akan berguna bila dipegang oleh orang yang tepat. Dan akan menjadi bencana kalau sudah disusupi kepentingan lain yang nggak sesuai manfaat sharing.

    Be wise while online.

    BalasHapus
  5. puyeng bacanya...

    panjang amat yak?

    bocen,,, nggak ada gambarnya...

    :D

    BalasHapus
  6. Menurut saya terlalu berlebihan jika menganggap bahwa situs jejaring sosial merupakan sebuah ancaman. Hanya orang yang berbuat salah yang merasa bahwa itu merupakan sebuah ancaman. Bagi Obama??? Situs jejaring sosial merupakan berkat karena merupakan salah satu faktor kesuksesan beliau menduduki Gedung Putih

    BalasHapus
  7. 3 tahun lalu saya pernah baca buku LEARNING REVOLUTION di situ dijelaskan perkembangan INTERNET diramalkan merubah tatanan POLITIK, EKONOMI, PENDIDIKAN. Dan sekarang terbukti banyak negara otoriter yang penduduknya minta REFORMASI, di bidang EKONOMI banyak lahir bidang pekerjaan yg dulu tdk ada seperti ADSENSE, dan PENDIDIKAN perlunya mengatur ulang sistem kurikulum pendidikan yg relevan karena setiap 18 bulan INFORMASI berkembang 2 kali lipat.

    BalasHapus
  8. Jeprie:
    Mungkin Pak Menteri sangat ketakutan sekali setelah melihat contoh Mesir sehingga keluar statement seperti itu, Mas Jeprie.

    Menurut pendapat saya juga iya, itu terlalu berlebihan. Padahal berapa, sih pengguna Twitter di negara kita sampai harus sedemikian takutnya. Dan lagi, apa mungkin orang (warga negara) protes, demo apalagi memberontak kalau tidak ada masalah? Jadi, fokusnya, ya penyebab akar masalah yang menyebabkan rongrongan buat negara itu yang disentuh, bukan malah mengkuatirkan corong informasi seperti dari Twitter itu.

    iskandaria:
    Betul, banyak orang yang seperti Mas Iskandaria ceritakan itu. Update status dengan sangat hyperaktif dengan hal-hal yang hanya berisi "What are you doing" saja.

    Social media terkadang (bahkan sering) bisa membuat teman jauh (secara geografis) menjadi seolah dekat dengan kita dan teman dekat menjadi serasa jauh. Contoh teman Mas Is itu bisa jadi salah satu contohnya.

    Hoeda Manis:
    Banyak yang bilang teknologi itu adalah netral. Benar, ya Mas Hoeda? Sebuah teknologi bisa menjadi A ditangan si X, bisa menjadi B ditangan si Y. Dan juga bisa menjadi berguna di tangan orang yang tepat. Namun bisa menjadi sangat berbahaya kalau berada di tangan orang yang tidak tepat.

    Saya setuju seharusnya faktor edukasi itu yang lebih penting. Bukan malah menghambat atau memblock teknologinya. Ya, meskipun mengedukasi di sini bukan sebuah pekerjaan mudah.

    Agus Siswoyo:
    Ya, betul sekali, Mas Agus. Semua berpulang kepada siapa yang menggunakannya dan tingkat kedewasan si penggunanya itu sendiri. Mau menjadikan teknologi hanya sebagai alat atau dia yang diperalat oleh teknologi itu sendiri untuk melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat.

    Rohani Syawaliah:
    Bilang saja kalau Hani lagi males baca jadi jangan pakai alasan puyeng karena tulisannya panjang. :((

    Tapi terima kasih buat kejujuran Hani karena sudah DM ngasih penjelasan ke saya. :)

    bro eser:
    Saya pun juga menganggap begitu, terlalu berlebihan, bro. Banyak hal yang harus dipikirkan di negeri ini selain hanya meributkan Twitter yang berapa persen, sih orang kita yang menggunakannya. Di kantor saya saja sangat sedikit kawan yang punya akun di Twitter.

    motivasi hendra:
    Fakta itu memang tidak bisa disangkal, Mas Hendra. Kehadiran internet membuat arus informasi bergulir cepat dengan perkembangan sangat pesat mempengaruhi hampir seluruh aspek/bidang seperti yang Mas Hendra sebut itu (Politik, Ekonomi, Pendidikan, Teknologi dsb)

    BalasHapus