twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail
Tampilkan postingan dengan label Sholat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sholat. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 November 2011

Keislaman Indonesia Hanya Ritual Semata, Benarkah?

Komaruddin Hidayat
Membaca tulisan menarik yang berjudul “Keislaman Indonesia” yang ditulis oleh Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta di Harian Kompas Sabtu 5 November 2011 lalu —yang mengutip peletakkan Indonesia dalam sebuah penelitian di urutan ke-140 dari 208 negara di dunia yang paling islami— saya jadi ingat dengan pengalaman saya berkunjung ke negeri ginseng Korea pertengahan Maret tanggal 12-19 Maret 2011 lalu. Bagaimana tidak? Apa yang ditulis Komaruddin Hidayat ini jadi mengingatkan saya akan perilaku orang Korea yang benar-benar lebih islami meskipun Korea bukan negara Islam, ketimbang negara kita yang mayoritas penduduknya Muslim. Sedih!

Ini saya kutip sebagian tulisan saya pada poin ke-3 dalam tulisan “Fakta-fakta Unik Tentang Negara Korea (1)” terdahulu yang menceritakan perilaku sosial dan kehidupan beragama orang Korea.

Berbeda dengan kebanyakan orang di negara kita yang rata-rata mengenal dan menganut agama sejak kecil karena agama adalah kebanyakan warisan didikan dari orang tua, tetapi di Korea justru tidak. Pendidikan agama di Korea itu nomor yang kesekian, atau tidak dalam skala prioritas kalau dibandingkan dengan mata pelajaran pendidikan umum. Terdengar aneh, kan?

Jadi jangan heran kalau orang Korea kebanyakan belum beragama atau baru menganut agama setelah mereka dewasa. Namun, satu hal yang patut saya apresiasi dari orang Korea adalah meski mereka kurang kuat dalam hal agama tapi jangan ditanya moralitas orang Korea rata-rata sangat baik dan sangat disiplin melebihi akhlaq orang yang beragama. Ini bisa saya amati dari perilaku mereka saat berkendara di jalan, tidak membuang sampah dan merokok di sembarang tempat, serta kepatuhan mereka pada norma dan hukum yang berlaku di negaranya tinggi. Ya, mungkin ini ciri-ciri umum negara yang sudah maju. Berbeda dengan negara kita yang masih berkembang sehingga masih butuh proses menuju ke arah ini.

Saya juga pernah sedih dan sempat menulis kegundahan hati saya dalam tulisan ini “Mengapa Sholat Itu Tak Penting?” Dan di artikel ini sempat menerima banyak komentar beragam datang mengomentari artikel saya. Salah satu diantaranya banyak yang bilang katanya Sholat itu tetap penting dan wajib dilakukan tak peduli meski kelakuan kita, maaf tetap bejat.

Kalau Anda seorang Muslim saya tanya pilih mana menjalankan Sholat tapi kelakuan tidak bermoral, ataukah tidak Sholat tapi kelakuan Anda baik? Mana yang akan Anda pilih? Jika Anda terjebak memilih jawaban pertama, Sholat tapi kelakuan tetap bejat, maka tak heran kalau hasil penelitian “How Islamic are Islamic Countries” dari Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari hasilnya seperti itu. Apa bedanya Anda dengan orang-orang dari negara Islam anggota OKI lainnya yang dalam penelitian rata-rata muncul di urutan ke-139, betul? Ya, Islam hanya dijadikan sebagai simbol dan ritual belaka, karena samasekali tidak tercermin dalam perbuatan kita.

Hem, kalau saya terus terang jika ditanya seperti itu saya tak mau menjawabnya. Jelas saya tak milih dua-duanya.

Sebetulnya apa yang salah dengan pendidikan agama (Islam) di negara kita? Apa yang salah dengan negara kita yang waktu saya kecil guru saya sering cerita bilang ke saya bahwa Indonesia adalah negara timur yang sangat santun perilaku penduduknya, suka tolong menolong dan membantu sesama. Tapi kini? Saya tidak tahu. Silahkan baca sendiri tulisan menarik dari Komaruddin Hidayat di bawah ini untuk mencari jawabannya.

Keislaman Indonesia
Oleh Komaruddin Hidayat

Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.

Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.

Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.

Pengalaman UIN Jakarta

Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.

Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.

Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, Ulama besar Mesir setelah berkunjung ke Eropa.”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di Dunia Arab,” Katanya.

Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh dan pengajian semarak dimana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.

Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.

Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan : ….it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings-at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.

Dari 56 negara OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke -7,Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).

Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih Islami.

Semarak Dakwah dan ritual

Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?

Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam-syahadat, shalat, puasa,zakat, haji-dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Padahal misi Rasulullah SAW itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama : Keilmuan, Ketakwaan, dan Akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah,menurut penelitian Rehmen dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.

Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan : How Islamic are Islamic Polotical Parties? Menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan hadis. Lalu diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya. (Harian Kompas, Sabtu 5 November 2011)


Bookmark and Share

Jumat, 14 Januari 2011

Mengapa Sholat Itu Tak Penting?

Sholat

Banyak para ustad yang bilang ke saya mengatakan kalau sholat itu adalah tiang agama. Dirikanlah Sholat dan sholat lah Anda sebelum Anda disholatkan (mati). Betul? Tapi bagaimana kalau ada yang bilang begini ke saya: Sholat Itu Tak Penting?

Hup, Anda jangan gusar dan terburu-buru mengeluarkan dalil-dalil, ayat-ayat al-quran atau hadits apalagi sampai menghujat saya murtad dengan mengatakan sholat itu tak penting. Silahkan Anda cermati kembali kalimat saya. Itu bukan pernyataan tapi sebuah pertanyaan jadi Anda tak perlu harus mencak-mencak ke saya apalagi mengatakan, sekali lagi saya murtad, kafir dan sejenisnya. Itu hanya pertanyaan.

Saya hanya ingin menyampaikan pertanyaan di bawah ini mengapa ada yang bilang sholat tak penting dan ternyata beberapa fakta berikut ini yang jadi penyebabnya.

Apakah sholat itu penting jika Anda sholat tapi kelakuan Anda masih suka korupsi, mencuri, memeras rakyat, bejat dan suka maksiat?

Mungkin pertanyaan itu terdengar kasar bagi Anda tapi coba cermati sekali lagi apa memang ada yang salah dengan kalimat itu?

Banyak orang yang mengaku muslim tapi kelakuannya tetap tak mercerminkan orang beragama. Sholat iya, maksiat iya, mencuri iya. Hem..... :(

Bukankah sholat itu bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar? Lalu apa masih penting sholat kalau ternyata sholat Anda tak membuahkan hasil apa-apa, selain hanya sekedar gugur kewajiban saja kepada Tuhan?

Apakah sholat itu menurut Anda masih dianggap penting jika Anda punya uang berlebih tapi tetap tak mau bersedekah?

Apakah sholat itu menurut Anda masih penting jika Anda tega zolim kepada orang melarat karena tak mau mengeluarkan zakat mal kepada mereka padahal Anda mampu?

Sekali lagi, saya hanya bertanya, saya tidak membuat kesimpulan bahwa sholat itu tak penting. Selanjutnya terserah kepada Anda mau berpikir dan merenungkan pertanyaan saya ataukah tidak dengan tetap masa bodoh dan tidak mengindahkan pertanyaan saya ini.

Catatan:
Saya seorang muslim. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mencari sensasi apalagi hendak berpolemik dengan Anda. Tapi, hanya sekedar keluh kesah dari saya aja yang merasa sedih mendapati banyaknya orang-orang brengsek yang semakin membuat bobrok negeri ini.


Sumber Foto: Prayer


Bookmark and Share

Rabu, 09 Juni 2010

Siapa Bilang Ngajak Ke Surga Tak Perlu Beriklan?

Iklan Adsense
Coba, deh amati iklan yang saya lingkari itu! Saya, kok tiba-tiba menjadi heran dan ingin bertanya kepada Anda. Pertanyaan saya:

  1. Sejak kapan ngajak Sholat pakai beriklan Google Adwords
  2. Apakah ini tidak aneh menurut Anda?
  3. Bukankah pakai ceramah-ceramah agama saja biasanya sudah cukup untuk mengajak orang Sholat?
  4. Katanya iklan Google Adsense selalu relevan. Itu iklannya cuma dua tapi mengapa tak kompak?

Coba Anda bandingkan dengan kehebatan iklan PPC lokal dari Kumpul Blogger di bawah ini!

Iklan lokal

Dan pertanyaan saya kepada Anda adalah:
  1. Mengapa PPC lokal iklannya banyak tapi bisa kompak? Yaitu kompak ngajak-ngajak kaya semuanya?
  2. Apakah tak takut sekarang banyak orang mati mendadak gara-gara jantungan? Bagaimana kalau mereka kaget lalu tiba-tiba mati karena kaya mendadak?
  3. Apakah para advertiser lokal memang isinya orang kaya semua sehingga karena saking kayanya mesti ngajak-ngajak orang lain untuk menjadi kaya juga?
  4. Apakah internet di Indonesia sebagian besar pengaksesnya adalah dipenuhi oleh orang-orang yang cari informasi untuk menjadi kaya dari internet sehingga hanya iklan seperti itu yang paling laku di internet?
Sama-sama iklan, sih. Yang namanya iklan ya sama saja, tetap pada akhirnya ya jualan. Yang menarik, sama-sama dari jenis iklan PPC (Pay Per Click) mengapa bisa beda seratus delapan puluh derajat?



Bookmark and Share

Senin, 09 November 2009

BerQurban, benarkah hanya untuk orang kaya?

Qurban

Ada dua kejadian yang cukup menggugah hati saya. Dan kalau ditarik ternyata ada benang merah yang saling terkait menghubungkannya. Kejadian pertama, saya baru selesai membaca buku difference for excellence karangan Ashoff Murtadha. Di dalam buku tersebut ada kata-kata yang cukup membuat saya terhenyak. Setidaknya, ini sudah mementahkan tulisan saya yang berjudul Antara Kultum dan Rule Model, salah satu artikel posting saya yang pernah saya tulis beberapa waktu yang lalu. Berikut saya kutip sedikit isi kata-kata dari buku tersebut:


“Untuk menolong si miskin, seseorang tidak perlu menunggu jadi kaya. Untuk menolong orang susah, ia tidak perlu menunggu hidupnya mudah. Untuk menolong orang bodoh, ia tidak perlu menunggu menjadi pintar dulu. Untuk melakukan kebaikan, ia tidak harus menunggu segala sesuatu pada dirinya sempurna dulu. Justru penyempurnaan akan dicapai saat kebaikan itu dijalankan. Penyempurnaan itulah yang akan terus berkembang bersamaan dengan berkembangnya amal kebaikan.”


Duh, saya benar-benar merasa tersindir, sedih dan nelangsa banget membaca kutipan kata-kata tersebut. Jujur, saya termasuk orang yang belum bisa berbuat banyak untuk bisa membantu orang lain. Saya selalu punya seratus satu alasan tiap kali hati ini tergerak untuk berniat membantu sesama. Ah, semoga anda tidak seperti saya, orang yang terlalu banyak berpikir kalau diminta berbuat kebajikan untuk membantu sesama.

Kejadian yang kedua, ini terkait dengan hari raya Idul Adha atau Idul Qurban, hari raya agama Islam yang akan dirayakan seluruh umat muslim, salah satunya termasuk saya, pada tanggal 27 November 2009 nanti. Ada seorang kawan hari Jumat lalu curhat kepada saya. Dulu dia berpikir-- pikiran yang sama seperti pendapat saya – bahwa seorang muslim yang diwajibkan berQurban adalah hanya orang yang sudah mampu saja. Dan definisi mampu disini gambarannya, bukan orang seperti dia yang masih menempuh kuliah, uang masih nodong minta orang tua setiap bulannya, tapi pastilah seseorang yang sudah bekerja dan paling tidak, kaya sehingga mampu untuk berQurban.

Suatu waktu di jaman kuliahnya dulu kawan saya menceritakan berniat akan berQurban karena disuruh oleh orang tuanya. Singkat cerita dia kemudian hunting ke desa-desa untuk mencari kambing buat Qurban. Akhirnya tiba lah dia di sebuah desa di kabupaten Bantul Yogyakarta. Dia mendapati seorang anak desa yatim miskin karena sudah ditinggal mati bapaknya. Anak tersebut punya beberapa ekor kambing yang siap dijual untuk dipakai berQurban. Kawan saya kemudian menceritakan berniat membeli satu ekor kambing yang paling besar diantara kambing lainnya. Tetapi anak tersebut menolak menjualnya. Teman saya kemudian bersikeras mencoba membujuk anak tersebut agar mau menjual kambing yang paling besar tersebut. Tapi anak tersebut tetap bersikeras menolak dan mengatakan: “Silahkan Bapak pilih kambing saya yang lainnya, Pak asal jangan kambing yang paling besar ini.”

Teman saya kemudian menawar: “Berapa harga yang kamu minta untuk kambing yang paling besar ini, Dik? Tolong sebutkan berapa, saya tidak akan nawar dan berapa pun harga yang kau minta saya akan bayar,” tegas kawan saya sedikit memaksa.

Anak tersebut tetap bersikukuh tidak mau menjual kambing yang paling besar tersebut. Selidik punya selidik kawan saya jadi makin penasaran apa yang menjadi alasannya sehingga anak tersebut kekeh, tidak mau menjual kambingnya. Dan inilah alasan anak itu, yang membuat kawan saya jadi tersentak kaget mendengar jawabanya. “Bapak, kambing ini tidak saya jual karena mau saya pakai buat Qurban saya sendiri.”

Betapa terkejutnya kawan saya tersebut mendengar jawaban polos anak tersebut. Anak yang masih kecil, melarat, yang baru menginjak umur belasan tahun, dan masih duduk di bangku kelas 5 SD, yang untuk hidup sehari-hari saja susah, kok ya mau berQurban? Apalagi ini kambing yang paling besar pula, yang tentu saja bagi kebanyakan orang yang mau sedekah tentu merasa eman-eman untuk memakainya buat Qurban. Mending dijual aja buat makan atau biaya hidup lainnya. Toh, dia masih bisa Qurban dengan kambing lainnya yang lebih kecil. Deg! Kawan saya tersebut langsung menangis terharu, tersentuh hatinya mendengar jawaban polos anak tersebut. Jawaban, yang sekali lagi sudah mementahkan pendapat saya dan pendapat dia juga, bahwa berQurban hanya dilakukan oleh orang-orang kaya dan dewasa saja.

Dari dua kejadian ini, setidaknya sudah ada dua kejadian yang merupakan sebuah teguran tuhan kepada saya bahwa untuk tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya, seharusnya saya tidak punya alasan lagi untuk menolak berQurban karena berbagai macam alasan.

Semoga cerita ini bisa sedikit menggugah hati anda. Dan harapan saya, meskipun anda yang baca tulisan ini bukan seorang muslim, terlebih seandainya iya, semoga anda bukan termasuk orang seperti saya, yang lupa kepada penciptaNya dan tidak mau berbuat baik membantu meringankan beban sesama, dengan salah satunya mau berQurban buat orang miskin di hari raya Idul Adha. Amin.
Selamat menyambut dan merayakan hari raya Idul Qurban, kawan!



Bookmark and Share