twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Senin, 09 November 2009

BerQurban, benarkah hanya untuk orang kaya?

Qurban

Ada dua kejadian yang cukup menggugah hati saya. Dan kalau ditarik ternyata ada benang merah yang saling terkait menghubungkannya. Kejadian pertama, saya baru selesai membaca buku difference for excellence karangan Ashoff Murtadha. Di dalam buku tersebut ada kata-kata yang cukup membuat saya terhenyak. Setidaknya, ini sudah mementahkan tulisan saya yang berjudul Antara Kultum dan Rule Model, salah satu artikel posting saya yang pernah saya tulis beberapa waktu yang lalu. Berikut saya kutip sedikit isi kata-kata dari buku tersebut:


“Untuk menolong si miskin, seseorang tidak perlu menunggu jadi kaya. Untuk menolong orang susah, ia tidak perlu menunggu hidupnya mudah. Untuk menolong orang bodoh, ia tidak perlu menunggu menjadi pintar dulu. Untuk melakukan kebaikan, ia tidak harus menunggu segala sesuatu pada dirinya sempurna dulu. Justru penyempurnaan akan dicapai saat kebaikan itu dijalankan. Penyempurnaan itulah yang akan terus berkembang bersamaan dengan berkembangnya amal kebaikan.”


Duh, saya benar-benar merasa tersindir, sedih dan nelangsa banget membaca kutipan kata-kata tersebut. Jujur, saya termasuk orang yang belum bisa berbuat banyak untuk bisa membantu orang lain. Saya selalu punya seratus satu alasan tiap kali hati ini tergerak untuk berniat membantu sesama. Ah, semoga anda tidak seperti saya, orang yang terlalu banyak berpikir kalau diminta berbuat kebajikan untuk membantu sesama.

Kejadian yang kedua, ini terkait dengan hari raya Idul Adha atau Idul Qurban, hari raya agama Islam yang akan dirayakan seluruh umat muslim, salah satunya termasuk saya, pada tanggal 27 November 2009 nanti. Ada seorang kawan hari Jumat lalu curhat kepada saya. Dulu dia berpikir-- pikiran yang sama seperti pendapat saya – bahwa seorang muslim yang diwajibkan berQurban adalah hanya orang yang sudah mampu saja. Dan definisi mampu disini gambarannya, bukan orang seperti dia yang masih menempuh kuliah, uang masih nodong minta orang tua setiap bulannya, tapi pastilah seseorang yang sudah bekerja dan paling tidak, kaya sehingga mampu untuk berQurban.

Suatu waktu di jaman kuliahnya dulu kawan saya menceritakan berniat akan berQurban karena disuruh oleh orang tuanya. Singkat cerita dia kemudian hunting ke desa-desa untuk mencari kambing buat Qurban. Akhirnya tiba lah dia di sebuah desa di kabupaten Bantul Yogyakarta. Dia mendapati seorang anak desa yatim miskin karena sudah ditinggal mati bapaknya. Anak tersebut punya beberapa ekor kambing yang siap dijual untuk dipakai berQurban. Kawan saya kemudian menceritakan berniat membeli satu ekor kambing yang paling besar diantara kambing lainnya. Tetapi anak tersebut menolak menjualnya. Teman saya kemudian bersikeras mencoba membujuk anak tersebut agar mau menjual kambing yang paling besar tersebut. Tapi anak tersebut tetap bersikeras menolak dan mengatakan: “Silahkan Bapak pilih kambing saya yang lainnya, Pak asal jangan kambing yang paling besar ini.”

Teman saya kemudian menawar: “Berapa harga yang kamu minta untuk kambing yang paling besar ini, Dik? Tolong sebutkan berapa, saya tidak akan nawar dan berapa pun harga yang kau minta saya akan bayar,” tegas kawan saya sedikit memaksa.

Anak tersebut tetap bersikukuh tidak mau menjual kambing yang paling besar tersebut. Selidik punya selidik kawan saya jadi makin penasaran apa yang menjadi alasannya sehingga anak tersebut kekeh, tidak mau menjual kambingnya. Dan inilah alasan anak itu, yang membuat kawan saya jadi tersentak kaget mendengar jawabanya. “Bapak, kambing ini tidak saya jual karena mau saya pakai buat Qurban saya sendiri.”

Betapa terkejutnya kawan saya tersebut mendengar jawaban polos anak tersebut. Anak yang masih kecil, melarat, yang baru menginjak umur belasan tahun, dan masih duduk di bangku kelas 5 SD, yang untuk hidup sehari-hari saja susah, kok ya mau berQurban? Apalagi ini kambing yang paling besar pula, yang tentu saja bagi kebanyakan orang yang mau sedekah tentu merasa eman-eman untuk memakainya buat Qurban. Mending dijual aja buat makan atau biaya hidup lainnya. Toh, dia masih bisa Qurban dengan kambing lainnya yang lebih kecil. Deg! Kawan saya tersebut langsung menangis terharu, tersentuh hatinya mendengar jawaban polos anak tersebut. Jawaban, yang sekali lagi sudah mementahkan pendapat saya dan pendapat dia juga, bahwa berQurban hanya dilakukan oleh orang-orang kaya dan dewasa saja.

Dari dua kejadian ini, setidaknya sudah ada dua kejadian yang merupakan sebuah teguran tuhan kepada saya bahwa untuk tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya, seharusnya saya tidak punya alasan lagi untuk menolak berQurban karena berbagai macam alasan.

Semoga cerita ini bisa sedikit menggugah hati anda. Dan harapan saya, meskipun anda yang baca tulisan ini bukan seorang muslim, terlebih seandainya iya, semoga anda bukan termasuk orang seperti saya, yang lupa kepada penciptaNya dan tidak mau berbuat baik membantu meringankan beban sesama, dengan salah satunya mau berQurban buat orang miskin di hari raya Idul Adha. Amin.
Selamat menyambut dan merayakan hari raya Idul Qurban, kawan!



Bookmark and Share

14 komentar:

  1. menurut saya berkurban bukan untuk orang kaya tetapi untuk orang mampu sob, hehe...

    Meskipun orang miskin tetapi kalo memaksakan untuk kurban pastinya bisa ya sob,

    nice info sob!!!!

    BalasHapus
  2. Ya, Sob benar, dalam bersedekah kita harus berusaha mampu dan merasa kaya.
    Kalau orang miskin aja bisa, kenapa kita tidak?

    BalasHapus
  3. Patokan kaya untuk orang2 berbeda2...pada saat berpamer mengaku "saya orang kaya", tapi kalo pas dituntut untuk membagikan sebagian hartanya berkata "saya masih sebra kekurangan".
    Jika mampu lakukanlah, Alloh tidak akan salah orang ketika memberikan balasan.
    Wallahualam

    Potter.Web.ID :)

    BalasHapus
  4. Semoga kita dijauhkan dan bukan termasuk orang-orang seperti itu, Mbak LieZMaya. Amin

    BalasHapus
  5. wuah... saya tersentuh banget dengan keikhlasan si anak miskin itu dan rela mengurbankan kambingnya yg paling besar. (meskipun mnurut penerawangan dan pngliahatan saya dia nggak mungkin miskin krna toh dia punya banyak kambing untuk dijual, lha saya?? cuma punya 6 ekor anak ayam, yg bakal mbikin saya nangis bombay apabila mati atopun ilang) *apaan sih koq jadi out of contex hehehe

    meskipun diagama saya tidak ada yg namanya kurban (tapi ada perpuluhan yakni sepersepuluh dari rejeki yg kita dapatkan kita serahkan untuk pekerjaan Tuhan) klo bisa berpendapat saya pikir jg memang berkurban itu bukan soal kaya ataupun miskin, tp kemauan dan kemampuan kita untuk melakukannya.

    bukankah setiap tetes yang kita berikan untuk kemuliaan Tuhan akan kembali berlipat kali ganda kepada kita?
    Just believe it. :D

    BalasHapus
  6. Rasanya semua agama mengajarkan agar kita harus peduli kepada sesama. Dan didalam setiap rejeki kita ada hak orang miskin yang harus diberikan.

    Benar, Lis saya juga percaya kalau kita mau memberi sedekah secara ikhlas, balasannya adalah akan mendapat rejeki yang berlipat-lipat dari Tuhan

    BalasHapus
  7. Wih ceritany keren..
    Pelajaran yg sangat brhrga sekali mas...
    saia rasa sedikit sekali org2 yg bersifat seperti anak kecil itu...
    dan smpe saat ini aku belum pernah melihat secara nyata kebaikan2 yg seperti itu...
    andai aja ak yg mengalami kejadian itu,huhu...

    BalasHapus
  8. Benar pak.... menurut saya, kaya bukan berasal dari kemampuan finansial saja. banyak bukti bahwa "banyak" orang kaya finansial tetapi hatinya masih miskin, mereka selalu merasa kekurangan. dan tidak sedikit yang miskin finansial tetapi hati mereka kaya, mereka selalu mau bershodaqoh walaupun kehidupan mereka serba kekurangan. Jadi berqurban jangan menunggu kaya terlebih dahulu..
    Kesempatan tidak akan datang dua kali.

    BalasHapus
  9. Onny, semoga kita termasuk orang yang kaya hati dan selalu dilancarkan rejekinya oleh Alloh sehingga mampu berQurban dan bershodaqoh. Amin

    BalasHapus
  10. Tulisan ini membuat saya lebih sadar Mas.
    dimulai dari kutipan yg sampean sadur..ditambah lagi tulisan yg anda paparkan lebih jauh dari anak yg enggan menjual kambing besar, lantaran hanya untuk buat dia berqurban untuk yang lain. Sungguh mulia Hati anak tersebut.
    mudah-mudahan Kita semua bisa berkurban untuk orang laen.. :)

    BalasHapus
  11. Bapak Joko, sama-sama kita berdoa meminta Allah memberi kesabaran pada kita semua dan semoga bencana Merapi cepat mereda. (berdoa mesti optimis, malah sebaiknya tidak pake kata semoga, akan saya tulis di blog saya dan itu ada haditsnya)

    Terima kasih komennya juga di blog saya

    Tentang artikel ini, saya menulis di blog saya berjudul "Idul Adha" berkurban hanya untuk yang masih mempunyai sisa uang untuk membeli hewan kurban setelah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hukum berkurban adalah sunat muakkad (sangat disarankan).

    Senyum tulus kepada orang lain sedekah, menyingkirkan paku yang bisa bikin ban gembos di jalan juga sedekah, jadi cukupi kebutuhan kita dulu (tidak berlebihan), bayar utang kita dulu di credit card, setelah semua beres dan masih ada sisa barulah berpikir untuk membeli hewan kurban untuk dikurbankan.

    Di blog saya, saya juga menulis tentang 'ujub (takjub pada diri sendiri) dan riya'(mengharap pujian). Bila kita masih banyak hutang, berkurban, niatnya hanya agar merasa diri lebih baik dari orang lain, dan mendapat pujian, dengan berat hati saya mengatakan AMAL IBADAHNYA TIDAK DITERIMA ALLAH.

    Menarik tulisan pak Agus, mencoba mencari judul yang berbeda ya, saya sangat menghargainya, dan baru mendapat jawaban seyelah membaca artikelnya.

    BalasHapus
  12. Mencari ridho Allah semata:
    Terima kasih buat komentar tausiahnya dan silahturahimnya juga ke blog saya, Mbak Ratnawati Utami.

    Dengan menulis artikel ini semoga saya tidak termasuk orang ujub (takjub pada diri sendiri) dan riya'(mengharap pujian). Saya nulis kisah ini sebetulnya ingin mengajak kepada sesama manusia (terutama umat muslim) yang mampu agar tak enggan berQurban. Karena meski hukum Qurban hanya sunnah muakkad tapi sikap untuk peduli dan mau berbagi dengan orang lain yang miskin itu seharusnya kita lakukan terlebih sekarang banyak saudara-saudara kami di Jogja yang lagi menderita karena bencana meletusnya Merapi.

    Ya, kita sama-sama berdoa semoga musibah ini cepat berlalu. Amin

    BalasHapus