twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Selasa, 03 Agustus 2010

Pantaskah Tulisan di Blog Disebut Sampah?

Blog Sampah

Banyak cara blogger dalam menyebut diskripsi content dari blognya dengan berbagai macam nama dan istilah. Dari yang umum menyebut tulisan di blognya sebagai artikel, tak mau menyebut sebagai artikel, menyebut tulisannya hanya sebagai pelepasan katarsis bloggernya, sebagai pelampiasan unek-unek atau curhat dari bloggernya, sampai ada yang menyebut isi blognya, maaf hanya sebagai tempat sampahan dari bloggernya saja.

Khusus beberapa sebutan yang terakhir, kalau saya menilai ada dua alasan mengapa banyak blogger bersikap seperti itu. Alasan pertama, karena bloggernya berusaha menunjukkan atau bersikap rendah hati dengan tak mau meninggikan diri dan tulisannya sebagai sesuatu yang layak dihargai sangat tinggi oleh orang lain. Alasan kedua, sebuah bentuk disclaimer bloggernya secara diam-diam, yang ingin berkilah dari tuntutan pihak lain jika ternyata artikel yang telah dimuat blognya ternyata tidak tepat atau ada yang salah di dalam artikelnya.

Terlepas apa pun itu alasannya, sah-sah saja kalau menurut pendapat saya kalau ada blogger menamai content di blognya demikian. Kalau saya tak terlalu ambil pusing dengan nama atau istilah-istilah di atas. Jika saya memposisikan sebagai pengunjung blog, saya bersikap, selama isi blog itu memberi nilai tambah buat pengunjung blog seperti saya, why not saya terima isinya, apa pun itu namanya? Mau disebut informasi sampah atau apa pun, itu tak menjadi soal buat saya. Karena, selama ini dalam membaca bukankah sebaiknya menerapkan teknik Membaca Analitis & Sintopikal. Artinya, jika informasi itu sesuatu yang penting dan perlu dikaji lebih dalam, selayaknya Anda melakukan compare dengan banyak sumber yang lain, atau tidak terfokus hanya pada satu sumber referensi saja.

Nah, kalau saya memposisikan diri sebagai blogger, saya hanya bisa bilang menulis ngawur pun justru bagi saya malah sulit apalagi membuat sebuah rekayasa atau kebohongan besar. Kalau nulis ngawur dan berbohong sekali dua kali mungkin masih mudah. Tapi bagaimana kalau melakukannya sampai berkali-kali dalam blog yang jumlahnya bisa mencapai ratusan artikel? Apakah itu tetap mudah? Bukankah faktanya kalau kita berbohong butuh energi lebih besar daripada berkata jujur?

Itulah mengapa saya tak mahir menulis cerita fiksi dan lebih menyukai menulis artikel. Mengapa? Karena dalam tulisan fiksi ada dua hal sekaligus: Kebohongan dan fakta sekaligus. Cerita fiksi memang sebuah kebohongan karena bukan fakta tapi ceritanya adalah sesuatu yang riel, yang artinya sebuah fakta yang ada di alam imajinasi penulisnya. Dan fakta di alam imajinasi ini biasanya selalu digali dan diadaptasi dari sesuatu yang nyata dari pengalaman dan pergumulan hidup penulisnya. Tidak lahir ujug-ujug dari langit begitu saja dari imajinasi penulis. Jadi untuk membuat cerita fiksi, bagi saya pribadi justru lebih sulit ketimbang menulis artikel. Entah bagaimana dengan Anda.

Jadi kesimpulannya, mau disebut apa pun content di sebuah blog, saya rasa sebuah tulisan di blog tetap lahir dari sebuah proses kreatif, yang diawali dari proses menggali ide, Membaca Kreatif, bergumul dengan pengalaman hidup penulisnya dan kemudian menuangkan gagasan-gagasan tersebut ke dalam bentuk sebuah tulisan. Bukankah proses seperti ini patut kita hargai dan seharusnya tak boleh disebut sesuatu yang remeh? Pantaskah produk yang dihasilkan dari proses kreatif seperti itu layak disebut bukan sebagai apa-apa apalagi direndahkan hanya sebagai sampah? Kecuali, maaf kalau tulisan di blog Anda memang hanya dihasilkan dari reflek menulis saja tanpa berpikir apa-apa maka saya sependapat tulisan Anda layak disebut bukan apa-apa, bukan sebuah artikel dan sangat pantas disebut sampah.

Ada yang tidak sependapat dengan saya?



Bookmark and Share

16 komentar:

  1. Saya mungkin kali ini tidak sependapat mas Joko, apapun yg ada adalah "Proses", terkadang proses butuh waktu terlepas masalah sampah or tidak... :)

    BalasHapus
  2. Saya nggak bisa komen he hehe ,, uraian artikelnya udah jelas banget,, ga bisa ditambahin dan ga bisa dikurangin... apa lagi protes .. hehehehe...

    BalasHapus
  3. Lintang Hamidjoyo:
    Proses! Butuh waktu berapa lama untuk sekedar berani mengatakan tulisan sebuah blog dari bukan apa-apa (sampah) sampai berevolusi menjadi artikel? Kalau berbicara proses memang itu pembenaran yang sulit bisa dibantahkan. Namun satu hal yang perlu dipahami, dengan menyebut tulisan di blog sebagai artikel, bukan berarti saya meninggikan derajat tulisan saya lebih tinggi dibanding tulisan blogger lain yang tak mau menyebut sebagai artikel. Tidak! Tapi saya berusaha menghargai jerih payah menulis saya yang butuh berpikir keras, sesuatu yang tak mudah buat saya, dengan tak menyebut sampah buat tulisan saya, Mas Lintang.

    MisterXWebz:
    Sekali-kali protes dan berbeda pendapat boleh, Mister.

    BalasHapus
  4. pikiran manusia yang begitu kompleks dan dengan pengalaman yang beragam itu rasanya sulit melahirkan hal yang remeh temeh yah.

    Mungkin remeh dan nggaknya ya tergantung dari ada fungsinya atau nggak dari yang baca. JAdi bukan esensi tulisan itu sendiri.

    BalasHapus
  5. Menurut saya seburuk apapun tulisan seorang blogger, memang tidak selayaknya di sebut "sampah" kalau saja memang tujuan awal blogger tersebut ingin berbagi pengalaman atau mengajukan sebuah opini, masalah diterima oleh pengunjung atau tidak, fakta yang berbicara, dan yang berhak memberikan penilaian apakah tulisan / artikel tersebut "sampah" atau bukan itu menjadi hak suara pengunjung.

    Terima kasih kunjungan Mas Joko, blog saya masih berantakan he he he ...

    BalasHapus
  6. bukan detikcom:
    Ya benar, Mas Gardino esensinya adalah nilai yang bisa kita petik dari content/ tulisannya. Itu sebenarnya esensinya. Jika tulisan benar-benar tak ada manfaat buat orang lain, itu baru pantas disebut sampah namanya.

    Didik Kusdiyanto:
    Kalau saya menilai blogger yang tak mau menyebut tulisannya sebagai artikel dan cenderung merendahkan tulisannya lebih karena sebuah alasan/ sikap rendah hati saja, Mas Didik.

    BalasHapus
  7. Saya suka bagian:

    "yang ingin berkilah dari tuntutan pihak lain jika ternyata artikel yang telah dimuat blognya ternyata tidak tepat atau ada yang salah di dalam artikelnya. "

    — Kalau itu sih pengecut namanya… :D

    BalasHapus
  8. ngopas aja kreatif loh kang... cuma negatif kreatif
    *halahhhh

    BalasHapus
  9. Menyebut tulisan sendiri sebagai sampah rasanya berlebihan. Mungkin sekali jika memang ingin menghindari tuntutan pihak lain.

    Kalau kita memang berusaha untuk menjaga kualitas tulisan dan punya standar yang tinggi, sejelek apa pun tulisan pasti tidak akan jadi sampah.

    BalasHapus
  10. ardianzzz:
    Pengecut!? Bisa jadi begitu, Mas Ardian. Daripada dituduh begitu, mbok pasang Disclaimer saja sekalian, kan lebih enak dibacanya daripada menjelek-jelekkan tulisan sendiri.

    Alena:
    Tulisannya tetap kreatif. Perbuatan pencopasnya yang tak kreatif, selain hanya kreatif menjiplak saja. Karena kreatif yang seperti itu tak melalui proses menggali ide, Membaca Kreatif, bergumul dengan pengalaman hidup dan menuliskan ide.

    Jeprie:
    Alasan yang ke-2 itu hanya sebuah kemungkinan dan opini saya saja, Mas Jeprie tapi saya berharap semoga bukan itu yang menjadi alasannya.

    BalasHapus
  11. Hehe.. bener juga. :)
    btw, jadi inget belum bikin disclaimer... :(

    BalasHapus
  12. Tapi sah-sah saja kok pak bila kita menyebut tulisan kita sebagai sampah. Tergantung dari tujuan menulis kita.

    Di beberapa blog pribadi saya, saya memang sengaja menciptakan blog tersebut sebagai "tempat buang sampah" atau buang unek-unek. Jadi memang tidak berlebihan kalau saya juga menyebut tulisan2 itu sebagai sampah hehehe

    BalasHapus
  13. Pak joko, boleh usul ga?

    Tulisan di blog ini ukuran hurufnya terlalu kecil untuk bisa saya baca dengan nyaman. Mungkin ada pertimbangan untuk ganti template yang ukuran hurufnya gede pak?

    BalasHapus
  14. ArdianZzZ:
    Gara-gara nulis ini saya jadi bikin Disclaimer. He... He...

    rismaka:
    Mas Adi boleh saja menyebut begitu, tapi bagi saya tidak. Tulisan di blog pribadi yang Mas Adi sebut itu bagi saya tetap menarik dan bermutu. Apapun itu sebutannya.

    Terima kasih buat masukannya Mas Adi. Oke, saya coba besarkan sedikit besar fontnya dari 12px menjadi 13px

    BalasHapus
  15. Sebetulnya... secara ilmiah apa sih kriteria tulisan disebut tulisan sampah itu...? saya kok bingung

    BalasHapus
  16. Andoko Mardjuni:
    Nggak usah bingung, Mas. :D

    BalasHapus