twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Selasa, 16 Februari 2010

Seharusnya Kita Belajar Dari China

Sensor internet RPMAda pepatah yang mengatakan: “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.” Nampaknya pepatah ini seharusnya berlaku juga untuk urusan sensor menyensor internet yang akan diberlakukan di negara kita. Kita harus belajar banyak dari pengalaman China yang telah melakukan content filtering internet di negaranya sana, yang ternyata malah sebagian besar rakyat China tidak keberatan alias mendukung dengan kebijakan tersebut.

Saya menulis tulisan ini tidak ada maksud untuk melawan arus dengan mendukung RPM tersebut, tapi sebelum Anda ikut-ikutan untuk menolak Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Konten Multimedia (RPM) tersebut, ada baiknya Anda simak dulu opini menarik yang disampaikan oleh seorang kawan saya dari milis Telematika, Bapak M. Salahuddien dibawah ini.

Berikut saya Quote opininya dari Milis:


Ya, kita justru harus banyak belajar dari pengalaman China dengan rezim content filtering The Great China Firewall. Sebab ternyata, justru ada banyak sekali manfaat dari kebijakan ini, tidak hanya melulu bahwa penyensoran itu bermakna negatif. Kebanyakan rakyat China tidak keberatan dengan kebijakan itu. Justru ini menjadi modal bargaining Pemerintah terhadap pemain global seperti Microsoft, Google, Yahoo hingga Facebook. Karena China sadar bahwa mereka punya potensi pasar yang sangat besar, di satu sisi itu adalah keuntungan di sisi lain bisa menjadi bumerang..

Ini sejumlah fakta penting manfaat di balik rezim content filtering di China (sekarang mulai ditiru oleh Iran dan bahkan mulai malu-malu akan diadopsi sebagian oleh Australia):

  1. Konten diskusi mengenai demokrasi dan politik, tidak sepenuhnya disensor oleh China. Kecuali pada saat tertentu apabila terjadi kerusuhan berbau SARA dan politik seperti dalam kasus Tibet dan Xinjiang. Forum dan blog lokal di China sehari-hari cukup agresif di dalam melajukan kritik terhadap Pemerintah China terutama membahas masalah pemerataan kesejahteraan, layanan publik, korupsi dan politik termasuk perdebatan tentang Tibet. Demikian juga kebebasan berpendapat tokoh-tokoh reformasi China pun cukup diberikan ruang walau mungkin memang tidak se-vulgar diskusi di luar pagar tembok China. Namun substansinya cukup jelas tersampaikan. Akan tetapi yang benar-benar tidak ditoleransi bila ada penyebaran informasi yang bersumber dari luar. Namun sebenarnya Pemerintah China pun punya justifikasi terhadap penyensoran ini, karena kebanyakan materi informasi asing tersebut tidak berimbang, tendensius, selalu mendiskreditkan Pemerintah China dengan cara yang menurut kebudayaan China adalah "tidak patut". Jadi sebenarnya, kritik masih bisa dilakukan di China asalkan dilakukan dengan etika dan "secara patut". Ini pendidikan moral politik yang luar biasa sebenarnya, sehingga aktivis demokrasi di China pun pada saat melakukan kritik akan selalu mengedepankan dan meletakkan integritas nasional di atas segala-galanya.
  2. Pembatasan konten yang dianggap bertentangan dengan kebudayaan China pun membawa dampak yang positif yaitu relatif tetap terjaganya seni budaya, adat istiadat serta pranata sosial di China sehingga jati diri bangsa ini justru menjadi daya tarik bagi dunia. Kontrol sosial yang kuat ini mencegah bangsa China agar tidak terpuruk ke dalam kerusakan sosial yang menjadi masalah besar di negara berkembang di seluruh dunia sehingga menghambat kemajuan serta melemahkan upaya negara di dalam meningkatkan kesejahteraan warganya. Perilaku negatif akibat kontaminasi budaya asing dapat dicegah dan diminimalisir sedemikian rupa. China menyadari, jumlah populasi yang sangat banyak adalah sebuah ancaman, satu jenis kerusakan saja (misalnya gaya hidup bebas) apabila menyebar luas akan dengan mudah mengakibatkan bencana sosial yang luar biasa. Satu contoh ekses saja, apabila banyak terjadi kelahiran yang tidak dikehendaki akibat gaya hidup bebas yang menghalalkan hubungan pra nikah akan berdampak serius terhadap tidak terkendalinya populasi. Sehingga kalau kita melihat dari sudut pandang ini maka kita akan memahami bahwa dibalik sikap China yang sangat konservatif bahkan puritan di dalam menghadapi kecenderungan global "budaya universal" sebenarnya memiliki alasan yang sangat kuat, jelas dan rasional.
  3. Rezim pengendalian konten di China ternyata menghasilkan dampak positif lainnya yaitu: sektor-sektor pembangunan di China sangat fokus dan optimal di dalam memanfaatkan TI khususnya Internet. Contohnya adalah bidang pendidikan. Sejak konten non pendidikan yang tidak memiliki korelasi terhadap kegiatan belajar mengajar dibatasi di sekolah-sekolah dan kampus, maka tingkat pencapaian akademik dan perkembangan intelektual meningkat tajam karena "keberhasilan minimalisasi gangguan lingkungan dan pengetahuan sosial berbahaya" seperti pornografi, online games (dengan kecenderungan permainan judi), sharing multimedia (sangat populer di China) dlsb. segala kegiatan "fun & pleasure" yang mengganggu konsentrasi siswa. Kenyataannya masyarakat akademik di China tidak tertinggal pengetahuannya, sebab akses terhadap informasi yang lebih luas masih tetap dibuka di tempat yang lebih umum seperti perpustakaan di luar sekolah dan warnet. Di sejumlah tempat, pornografi bahkan bisa diakses leluasa misalnya di lokasi yang disebut "international area" yaitu beberapa hotel dan kota besar utama seperti Beijing dan Shanghai dimana masyarakatnya sudah dianggap "cukup dewasa dan mampu mengendalikan diri" oleh Pemerintah.
  4. Pembatasan luar biasa terhadap konten yang dianggap tidak bermanfaat atau tidak kooperatif menyesuaikan diri dengan "keunikan budaya China" akhirnya memaksa pemain asing untuk melakukan modifikasi, kustomisasi konten yang dipasarkan di China. Microsoft, Yahoo, Google melakukan ini dan mereka untung besar di China. Sementara yang menolak, seperti Facebook pada akhirnya tertinggal dengan pesaingnya. Tetapi ada manfaat luar biasa yang sangat penting dari kebijakan ini, yaitu tumbuh kembangnya industri konten lokal. Layanan mesin pencari dan komunitas sosial lokal seperti Baidu saat ini menguasai sebagian besar pasar di China yang mencapai jumlah hampir 400 juta pengguna Internet unik akhir tahun 2009 yang lalu. Sangat jelas bahwa dalam hal industri konten, berkat rezim content regulation, kini menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Games, blog, chatting, email dlsb kini dilayani oleh produk lokal dengan kualitas fitur kelas dunia.
  5. Volume adalah potensi sekaligus bencana bagi China. Berkat filtering yang ketat China berhasil mereduksi konsumsi traffic Internasional mereka yang sebelumnya sebagian besar digunakan untuk konsumsi konten negatif dan tidak berguna. Ini adalah langkah efisiensi luar biasa terhadap anggaran nasional yang sangat menyedot devisa. Bahkan, idle capacity yang kemudian dapat dihasilkan dari langkah efisiensi ini dapat dijual kembali kepada negara lain di sekitar China untuk interkoneksi maupun akses transit ke Internasional, karena infrastruktur telekomunikasi China sebenarnya memang cukup berkualitas baik terrestrial maupun satelit.
Demikian, sekedar sharing tentang apa yang terjadi sebenarnya di balik The Great Firewall of China. Kalau mau belajar, tirulah ketegasan dan kemandirian bangsa China tersebut. Sebab kalau melihat itu semua, kita yang selama ini mencibir dan merasa lebih hebat karena kita konon katanya negara demokratis terbesar ketiga di dunia, ternyata justru jauh tertinggal dari bangsa China yang kita perolok sangat otoriter.


Hem, ternyata fakta-fakta yang disampaikan diatas membuktikan bahwa tidak selamanya sebuah kekangan (sensoring) justru merugikan, bukan? Akhirnya, saya hanya bisa berkata, mari kita tunggu sama-sama seperti apa nantinya implementasi dari Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Konten Multimedia atau RPM tersebut. Mudah-mudahan praktek dari peraturan RPM-nya nanti tidak memberatkan pihak-pihak tertentu, termasuk Anda.




Bookmark and Share

2 komentar:

  1. tapi saya pikir kalo faktanya kita ketik tiananmen yang keluar foto keluarga bahagia, bunga-bunga dan sebagainya. Sementara di negara lain yang keluar foto-foto pembantaian mahasiswanya, berdarah-darah, tank dan lain sebagainya.

    Dan perbedaan ini terjadi hanya karena google tunduk sama peraturan pembatasan konten. Koq yah rasanya ada yang ganjel dihati yah? Apalagi kasus tiananmen belum sepenuhnya dianggap tuntas?

    BalasHapus
  2. bukan detikcom: Benar, Mas kasus filter pada pencarian Tianamen di China, itu satu sisi yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Apa mungkin ada maksud tertentu dari pemerintah China dengan mengkeep informasi yang sebenarnya? Atau hanya pembatasan aja bagi netter secara umum disana?

    Tapi, seperti pada uraian opini teman saya, pada lokasi international area (contoh di hotel) filtering atau sensor ditiadakan. Jadi China masih memberi ruang kebebasan untuk lokasi2 tertentu. Saya belum pernah ke China, apakah benar demikian, seperti yang diceritakan tersebut? Mohon pencerahannya bagi yang sudah pernah kesana, terima kasih.

    BalasHapus