twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Kamis, 01 Juli 2010

Antara Memborong Media, Pangeran Siddhārtha Gautama dan Film Indonesia

Siddharta GautamaDalam suatu kesempatan Garin Nugroho pernah mengatakan membuat film di Indonesia katanya tidak sebebas seperti film di luar negeri. Yaitu seperti film Mandarin, film Hollywood, atau film Bollywood yang bisa bebas berkreasi. Di Indonesia kita tidak mengenal atau tidak boleh membuat film dengan mengantagoniskan tokoh seperti polisi, seorang militer dan pejabat negara. Beda dengan film-film luar negeri yang katanya bisa bebas, tak ada pembatasan. Makanya, kalau Anda pernah nonton film barat misalnya, tidak jarang ada tokoh polisi jahat, seorang Jendral militer makar atau seorang menteri korupsi dsb muncul di film-filmnya.

Dan faktanya, sepanjang pengalaman saya menonton dan mengamati wajah perfilman negara kita, bahkan hingga hari ini memang saya belum pernah menjumpai satu pun tokoh polisi, militer, dan pejabat negara jahat pernah muncul dan ditokohkan ada di cerita film atau sinetron Indonesia. Kecuali, hanya ada di film sejarah G30S-PKI yang memang diangkat dari kisah nyata sebuah sejarah.

Ah, saya jadi berpikir, alangkah rendah dan terhinanya kah orang sipil biasa seperti saya ini di film Indonesia. Bisa dengan bebas ditokohkan sebagai orang jahat, tukang Korupsi, pencuri, perampok, pemerkosa, pembunuh dsb. Sementara Anda Pak polisi, tentara, pejabat yang terhormat bak malaikat yang tak pernah punya salah. Bukankah polisi, tentara atau pejabat negara juga seorang manusia? Seorang yang karena kealphaannya juga suatu saat mungkin saja bisa berbuat salah?

Saya bukan orang film dan juga bukan polisi, tentara, atau pejabat negara sehingga kurang tahu dan paham apa maksud dari ketidakbolehan mengantagoniskan tokoh-tokoh tersebut di film Indonesia. Apakah maksud dari tidak bolehnya ini sama seperti tujuan mulia Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama untuk menjauhkan sang pangeran dari 4 (empat) hal: Orang tua, orang sakit, orang mati dan seorang pertapa karena khawatir pangeran Siddharta Gautama meninggalkan istana dan menjadi pertapa dengan melihat banyak hal yang tidak menyenangkan yang sebenarnya ada di kehidupan nyata ini?

Apakah sama seperti tujuan mulia itu agar kita dibiasakan melihat hal yang baik-baik saja agar kita menjadi orang baik meskipun kenyataannya tidak semua di kehidupan nyata ini baik-baik saja? Bukankah selalu saja ada hal-hal yang tidak menyenangkan yang merupakan sisi kehidupan yang lain, yang sebenarnya juga perlu kita saksikan sebagai sebuah kenyataan pahit hidup yang perlu dilihat? Apakah memang semua polisi, tentara dan pejabat negara itu baik-baik saja, tak ada yang nyeleweng, Korupsi misalnya?

Saya jadi ingin membandingkan aksi memborong majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010 lalu bukankah itu juga hampir sama? Sebagai aksi untuk memblokir fakta karena tidak ingin berita yang dimuat dalam Tempo tersebut sampai jatuh dan diketahui oleh publik? Bahkan dalam editorialnya Koran Tempo menegaskan siapa pun pelakukanya, polisi atau bukan, itu tak penting. Tapi motif mereka yang memborong sudah terbaca, ingin membendung agar majalahnya tak jatuh ke tangan publik, karena ada berita yang sengaja di-keep karena merugikan pemborongnya.

Saya menjadi heran setelah melihat ulasan media, mengapa polisi justru marah ketika majalah Tempo menyajikan laporan investigasi tentang adanya indikasi korupsi di tubuh POLRI karena adanya Aliran dana mencurigakan di rekening beberapa perwira polisi. Mengapa pula mesti mencak-mencak seperti Aburizal Bakrie yang juga pernah marah mempermasalahkan cover fotonya dikarikaturkan oleh majalah Tempo? Bukankah seharusnya malah bersyukur dan hal itu bisa dijadikan momentum untuk menindak oknum polisi-polisi, maaf, brengsek nakal yang berlindung dibalik korps POLRI? Sudah saatnya POLRI menyikapi dewasa tanpa arogansi dalam menyikapi kasus seperti ini. Arogansi hanya makin menyebabkan masyarakat makin antipati kepada polisi.

Antara Memborong Media, Pangeran Siddharta Gautama dan Film Indonesia memang tak ada hubungannya, selain hanya analogi kebetulan saya saja bahwa dalam hidup ini tentu tidak selamanya kita harus menafikan, mengingkari dan mencoba menutup-nutupi sebuah kenyataan yang sebenarnya ada dan nyata dalam hidup ini.



Bookmark and Share

14 komentar:

  1. Lepas dari mau atau tidak untuk menjadi "dewasa", yang jelas jadi "kekanakan" itu mengasyikkan. Bisa bermain semaunya. Ga perlu tanggung jawab atas apapun. Ga mau disalahkan, bahkan balas "nunjuk". Selalu ada yang melindungi dan bisa selalu mimik asi. Ga peduli usia dah 60 tahun. Nah loe!

    BalasHapus
  2. Ya, Mas Windu. Usia POLRI kini sudah 64 tahun. Bukan usia yang muda lagi, apalagi disebut kanak-kanak. Saya hanya bisa berharap POLRI terus berbenah dan menjadi makin membaik kinerjanya.

    BalasHapus
  3. Indonesia adalah negara demokratis namun bukan termasuk liberal. Dasar negaranya adalah Pancasila. Tentunya karakter rakyatnya adalah berjiwa Pancasila. Dengan demikian segala sesuatunya di negeri yang kita cintai ini harus selaras dengan isi dasar negara tersebut. Kita memang harus membedakan antara institusi dengan SDMnya. Tampaknya disini kalau manusianya berbuat salah, maka institusinya ikut tercoreng atau tercemar. Kita tidak bisa 'bebas' seperti mereka. Taraf dan pandangan hidup kita beda dengan mereka. Kalau aparatur penegak hukum kita difilmkan dengan sifat antagonis dan ditonton secara luas di masyarakat, bagaimana jadinya ! Trims sharingnya yang amat menarik, segar dan aktual. Salam sukses.

    BalasHapus
  4. Aku penasaran banget dg kelanjutan kasus terbaru majalah Tempo itu.
    Semoga saja kebenaran dapat terungkap.

    BalasHapus
  5. Sungguh..., aku baru tahu bahwa di Indonesia kita tidak mengenal atau tidak boleh membuat film dengan mengantagoniskan tokoh seperti polisi, seorang militer dan pejabat negara

    BalasHapus
  6. Postingannya masih seputar berita di Indonesia ya..?
    sejujurnya dari dulu saya masih tetap menganggap berita di Indonesia gag ada bedanya dengan seri di sinetron

    BalasHapus
  7. Herdoni Wahyono:
    Ya, kultur kita memang tak sebebas itu. Masih belum bisa memisahkan antara institusi dan personnya. Semua itu juga salah satu sebabnya dikarenakan penonton film negara kita belum cukup dewasa untuk sekedar bisa menyikapi dan membedahkan antara cerita fiksi dan non fiksi.

    catatan kecilku:
    Kita tunggu saja sama-sama, Mbak Reni.

    the others..:
    Iya tidak boleh. Makanya di film kita tak pernah ada tokoh antagonis polisi misalnya muncul di film Indonesia.

    TUKANG CoLoNG:
    Tergantung dulu beritanya kayak apa, Mas. Kalau itu berita infotainment dan politik, ya. Lebih mirip sinetron daripada berita.

    BalasHapus
  8. Wah sampai geleng2 melihat tulisan mas joko, dari cara menulis dan melihat fakta-fakta yang ada, saya tidak bisa berkomentar, hanya cukup mengacungkan dua jempol saya ,,, dan satu hal share di FB ...

    l
    l
    v
    MisterXWebz

    BalasHapus
  9. Idem sama MisterXWebz... (satu divisi hehehe)

    BalasHapus
  10. MisterXWebz:
    Saya pun menemukan fakta-faktanya tanpa sengaja, Mas. Dan ternyata kasus ketiganya mirip sehingga bisa saya analogikan di artikel ini. Thanks, Mister udah dishare artikelnya.

    downloadscenters.com:
    Wah, saya juga ikutan idem kalau gitu jawabnya. He He

    BalasHapus
  11. Baru tahu saya pak. Itu memang aturan resmi, ada UU-nya atau sekadar etika di kita saja.

    Sebetulnya ini malah membuat film-film tidak real. Berbeda sekali dengan film luar yang bisa memperlihatkan aparat/pejabat sebagai sosok manusia biasa lengkap dengan kesalahannya.

    Pantas saja, kualitas film Indonesia tidak bagus-bagus.

    BalasHapus
  12. Jeprie:
    Saya juga belum tahu persis larangannya itu berupa etika saja atau UU, Mas Jeprie. Karena saya tahu cuma sebatas dari perkataan Garin Nugroho dan pengalaman saya menonton dan mengamati film Indonesia. Mungkin insan perfilman yang bisa jawab ini. Nanti coba saya cari infonya. He....He....

    BalasHapus
  13. Hmm.. jangankan untuk antagonis, untuk iklan miz*ne yg menampilkan seorang Polisi yg ceria dan semangat saja sudah dihilangkan menjadi tukang parkir..
    Benarkah begitu?? Maaf jika ada yg salah.

    BalasHapus
  14. Julius:
    Saya malah belum pernah lihat iklannya, Mas. :D Ya, begitu lah faktanya. Di negara kita mending menokohkan tukang parkir daripada Polisi karena orang takut dengan resikonya.

    BalasHapus