twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Sabtu, 26 Juni 2010

Bahasa Ibu, Anak Tiri Yang Kini Benar-benar Dianaktirikan

Bahasa ibuKalau Anda pernah tinggal di Surabaya dan pernah bergaul dengan orang etnis Tionghoa maka satu yang membedakan antara etnis Tionghoa Surabaya dengan orang Jawa (pribumi) kalau dilihat dari cara mereka ngomong adalah dari logat bicaranya yang berbeda. Dan bagi saya yang sudah pernah bergaul lama dengan etnis Tionghoa, selain dari ciri-ciri fisik, maka saya bisa membedakan mereka dari cara mereka ngomong meskipun itu sama-sama ngomong dalam bahasa Indonesia. Karena mereka punya logat bicara yang khas.

Itu kalau di Surabaya, di Medan etnis Tionghoa berbeda lagi. Sewaktu saya tinggal di Medan saya menjumpai orang Tionghoa sana tak pernah ngomong dalam bahasa Indonesia logat Melayu seperti orang Medan pada umumnya. Mereka baru ngomong bahasa Indonesia kalau lawan bicaranya adalah bukan sesama etnis mereka. Mereka sehari-hari benar-benar ngomong dalam bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Mandarin. Aneh juga terdengarnya waktu itu, saya jadi sempat berpikir apa sedang di Hongkong, kok orang-orang Tionghoa di sini banyak yang ngomong dalam bahasa Mandarin. Pikir saya heran.

Saya coba bandingkan orang Tionghoa Medan dengan orang Tionghoa Surabaya. Setahu saya di Surabaya hanya orang Tionghoa kakek-kakek atau nenek-nenek yang sudah tua yang masih ngomong pakai bahasa Mandarin. Kalau jatuh pada anak-anaknya, jarang saya menemui mereka ngomong pakai bahasa Mandarin. Di Medan berbeda. Orang Tionghoa Medan masih sangat setia dengan bahasa ibu mereka meskipun sudah tidak tinggal di China lagi.

Lain lagi Surabaya, lain lagi Medan, lain pula Tionghoa Jogja atau Jawa Tengah pada umumnya. Di sini (Jogja) saya beberapa kali tertipu. Di kantor saya, saya punya beberapa teman dan relasi dari etnis Tionghoa. Saya tertipu karena saya pikir teman saya tersebut adalah orang Jawa tulen tapi nggak tahunya adalah orang etnis Tionghoa.

Kenapa pasalnya? Kenapa saya bisa sampai salah? Gara-garanya logat bicara kawan dan relasi saya tersebut tak ada yang mencirikan orang Tionghoa sama sekali. Terus didukung juga oleh ciri-ciri fisik yang kebetulan tak seperti orang Tionghoa kebanyakan yang matanya kebanyakan sipit. Saya salah karena terkecoh oleh logat Jawa teman saya yang memang sangat medok, fasih, luwes berbahasa Jawa seperti logat orang Jawa Jogja pada umumnya.

Kembali saya jadi ingin membandingkan antara Orang Jawa di Jogja dengan dengan orang Tionghoa di Surabaya. Keduanya sama, dalam konteks cara mereka berbicara. Jika ngomong dalam bahasa Indonesia, sama-sama tak bisa menyembunyikan asal mereka darimana karena logatnya yang sangat kental mengikuti cara mereka berbicara. Saya pun waktu tahun 1998 tinggal di Samarinda Kalimantan dalam sebuah pembicaraan lewat telpon pernah ditebak orang sana karena logat Jawa saya yang sangat medok.

Kalau kita mau sedikit merenung dan mau belajar dari para etnis Tionghoa, terus terang saya jadi sedikit malu sekaligus prihatin dengan para orang tua sekarang yang lebih mengutamakan ngajari anaknya dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris tapi menganaktirikan bahasa ibu mereka sendiri. Seharusnya kita belajar dari etnis Tionghoa Medan. Meski mereka tinggal di negara asing yang mayoritas berbahasa Indonesia, terlebih di Medan yang sehari-hari pakai bahasa melayu tetapi, toh mereka tetap setia dan tak melupakan bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Mandarin.

Kedua, kalau kita mau belajar dari para etnis Tionghoa di Jogja yang begitu pandai berbahasa Jawa dan logatnya yang benar-benar luwes menyatu seperti orang Jawa, saya jadi malu kembali, mengapa kita para orang tua justru mengajari anak kita dengan bahasa Indonesia dan mengesampingkan bahasa ibunya sendiri, bahasa Jawa? Bukankah idealnya kedua bahasa itu seharusnya diajarkan sejajar pada anak kita? Sedih rasanya kalau saya mengamati keluarga Jawa sekarang yang anak-anaknya sudah tidak bisa boso kepada para orang tua.

Sedih, bahasa ibu kini benar-benar seperti anak tiri yang benar-benar sudah dianaktirikan. Maaf, untuk kasus keluarga dengan perkawinan multi etnis mungkin bisa saya kecualikan. Karena orang tua seperti ini mungkin akan kesulitan mengajarkan tiga bahasa sekaligus, dua bahasa ibu kedua orang tuanya dan bahasa Indonesia sekaligus kepada anak-anaknya.



Bookmark and Share

14 komentar:

  1. Malahan kadang malu je mas kebanyakan orang tua sekarang (pasangan muda tentunya) mengajak anaknya ngomong pake bahasa jawa, harus pake bahasa Indonesia, terkadang beberapa saya juga temui pake bahasa Inggris...dan akibatnya hasil nilai pelajaran bahasa jawapun jeblog semua, weleh-weleh ... pemikiran yang amat bagus mas...

    BalasHapus
  2. Seperti yang pernah saya tulis di blog, saya sedih coz saya nggak pernah diajarin bahasa Jawa oleh orang tua saya. Tiap kali saya berusaha ngomong bahasa Jawa, saya pasti dibentak. :-(

    BalasHapus
  3. Di Bandung, saya sering menemukan orang tua yang sengaja mengajarkan anaknya berbahasa Indonesia sejak dini. Tentu saja hal itu wajar-wajar saja karena katanya agar nanti lebih mudah beradaptasi dengan pelajaran-2 di sekolah yang pada umumnya berbahasa Indonsia. Namun yang membuat saya sedih adalah ketika saya bertanya pada anak tersebut dengan bahasa Sunda, anak kelas 2 SD tersebut tidak mengerti bahkan sedikit kebingungan.

    BalasHapus
  4. MisterXWebz:
    Malu? Awalnya saya mau bilang gitu tapi pekewuh, Mas. He He. Malu disebut katrok alias ndeso karena menggunakan bahasa daerah, sepertinya ini sebagai salah satu alasannya juga mengapa para orang tua enggan mengajarkan bahasa Jawa kepada anaknya.

    Vicky Laurentina:
    Ya, saya pernah baca Mbak Vicky pernah nulis juga dan cerita dikatakan bahasanya aneh kalau lagi ngomong dalam bahasa daerah. Kira-kira alasannya apa, ya Mbak kok dilarang?

    Yuda:
    Salah satu alasan yang pernah saya dengar juga begitu, Mas Yuda agar nanti mudah beradaptasi dan berkomunikasi di sekolah sehingga bahasa ibu (daerah) dikorbankan. Ini berbeda 180 derajat dengan masa kecil saya dulu. Saya mengenal bahasa Indonesia justru saat di sekolah karena kedua orang tua saya mengajarkan hanya bahasa Jawa di rumah.

    Ya, jaman memang sudah berubah. Sedih juga kalau suatu saat bahasa daerah benar-benar akan punah. Bahasa daerah hanya akan menjadi sejarah dan sekedar text book saja karena jarang yang menggunakannya lagi.

    BalasHapus
  5. Saya menyebutnya ini sebagai "Krisis Budaya Kebangsaan" nilai nilai budaya luntur secara perlahan, tidak hanya Bahasa Ibu saja, untuk budaya budaya yang lain juga mulai bergeser,

    BalasHapus
  6. Contoh yang lain, sanggar-sanggar tari di Jogja banyak yang tutup karena sepinya peminat. Sebuah ironi! Di satu sisi kita teriak keras kalau ada negara lain mencaplok kebudayaan kita, tapi di sisi lain kita sendiri tak pernah peduli untuk turut serta melestarikan kebudayaan sendiri.

    Betul apa yang Mas Lintang bilang, kita mengalami "Krisis Budaya Kebangsaan"

    BalasHapus
  7. Yup, itulah Indonesia sekarang... Pertama mengikuti alur budaya asing dan kedua nggak mau yang tradisional dan dianggap kuno. Kasihan... Tukeran link yuk, aku jadi inget template blog ini pernah aku pake di blogku yang lama

    BalasHapus
  8. Iya mas,., beda lagi orang Tionghoa di daerah Semarang, kalau mereka ngobrol dengan "bangsanya sendiri" malahan pake bahasa jawa medok, tapi kalo sama orang pribumi pake bahasa indo, aneeehh....

    BalasHapus
  9. Arek Indonesia:
    Maaf, saat ini permohonan Tukar Link di blog ini sudah saya tutup. Namun jika Anda serius untuk menjalin relationship di blogosphere, silahkan berkunjung reguler kemari dan insya Alloh saya akan lakukan kunjungan sebaliknya, berkunjung juga ke blog Anda.

    MisterXWebz:
    Itulah, Mas kalau mereka saja bahasa Jawanya sangat medok, masak orang Jawa sendiri ngomong Jawanya malah kagok. Aneh, kan?

    BalasHapus
  10. Ini membuat saya ikutan prihatin karena begitu luhur nilainya bahasa IBU namun perlahan akan menghilang di gerus oleh kuatnya budaya anak zaman, lalu siapa yang akan tetap mempertahan seni budaya dan bahasa IBU kalau bukan kita-kita yanag masih memiliki kesadaran, monggo kerso Mas Joko...

    BalasHapus
  11. Konon menurut UNESCO, hampir separuh dari 6000an bahasa ibu di dunia terancam punah. Biang keladinya adalah semakin sedikitnya penutur untuk bahasa-bahasa bersangkutan.

    Sejak kecil saya HANYA dididik bahasa Sunda. Tidak pernah sekalipun diajari bahasa Indonesia apalagi bahasa asing. Tapi sekarang, saya tahu bagaimana menggunakan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan plus dua bahasa asing dan satu bahasa cinta (sombong mode = ON) hehe...

    Menurut saya, orang tua yang mendidik anaknya berbicara selain bahasa ibunya adalah orang tua yang sedang dilanda krisis jari diri, disorientasi, dan dislokasi. Yippee ki yeah!

    BalasHapus
  12. Agus:
    Sebenarnya yang patut disalahkan kalau sampai anak-anak generasi mendatang tidak bisa bahasa Ibu, ya yang salah kita-kita para orang tuanya, Mas Agus. Makanya kita lah yang bertanggung jawab, paling tidak di sisi keluarganya masing-masing.

    Anis Fahrunisa:
    Separuh dari 6000 bahasa terancam akan punah? Wah, tambah ngeri ini. Mudah-mudahan jangan bahasa Sunda dan Jawa yang ada di dalamnya. He2.... Lha, saya masih seneng dengerin uyon-uyon bahasa Jawa, Mas Anis.

    BalasHapus
  13. Baguslah, Mas! Tanpa bermaksud primordial, kapan-kapan mungkin gak ada salahnya kita mosting menggunakan bahasa ibu masing-masing. hehe...

    BalasHapus
  14. Anis Fahrunisa:
    Ide yang tak ada salahnya buat dicoba, Mas Anis. He....He....

    BalasHapus