twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Sabtu, 17 Oktober 2009

Kenapa Seniman Nyentrik?

seniman nyentrik

Anda boleh saja mengatakan posting saya ini sebuah trilogi karena diposting berseri, dan kalau anda barangkali berminat mengaduk-aduk arsip tulisan lama saya dalam blog ini, setidaknya posting ini ada benang merah dengan tulisan saya yang lama yang berjudul Teori Ilmu Silat dan Anda Termasuk Tipe Pekerja Yang Mana. Silahkan klik linknya bilamana anda berminat untuk membaca tulisan saya itu juga. Buktikan sendiri bahwa apa yang saya tulis ini semoga juga anda amini. Ada benang merah yang menghubungkannya seperti trilogi dalam judul posting ini, yang sebenarnya awalnya adalah sambungan dari trilogi I am Truly Blogger, saya beri judul berbeda agar anda tidak jenuh membaca judulnya.

Sore tadi saya mengaduk-aduk, cari koleksi buku lama saya di rak. Saya tertarik membaca kembali buku lama karangan Arswendo Atmowiloto, yang berjudul "Mengarang Itu Gampang", yang sudah saya beli 14 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1995. Wow, nggak nyangka juga itu sudah lama banget. Saya bersyukur termasuk orang yang ‘primpen’ (rajin nyimpan) meskipun saya mengalami pindahan rumah total sebanyak 16 kali. Dari mulai indekost saat masih bujangan, terus tinggal di rumah terakhir yang terkena Lumpur Lapindo, hingga akhirnya stay di kota Jogja sekarang ini. Hem, mudah-mudahan sudah tidak pindah-pindah lagi.

Nah, saya ingin share salah satu bab dalam buku tersebut yang berjudul "Kenapa Seniman Nyentrik". Saya petik sebagian isi paragraf yang berupa dialog dari buku tersebut. Silahkan disimak!



Jadi, kenapa mereka pada nyentrik?

Jangan dibalik begitu. Ini kan soal penghayatan. Soal gaya hidup. Kalau mereka yang kamu anggap nyentrik itu merasa pas dengan gaya dan penghayatannya, apa salahnya? Sekali lagi, ini hanya sekedar dari sudut mana kamu memandang, dari nilai mana kamu menangkap. Kan sama saja, misalnya saya beranggapan bahwa ABRI itu lebih nyentrik. Tiap hari pakai seragam itu-itu melulu. Tiap hari mengelap sabuk, menyemir sepatu, membersihkan bintang hingga mengkilat. Bagi saya justru yang begitu tidak wajar. Tapi mereka yang menjalani mempunyai penilaian sendiri. Ini pertanda disiplin. Dan disiplin dituntut tinggi dalam kemiliteran. Tak usah jauh-jauh. Kita pergi ke pasar di sebuah kampung. Lihat dan perhatikan Hansip dengan seragam coklat itu. Dengan segala tanda pengenal. Apakah itu tidak nyentrik dibanding ibu-ibu atau babu-babu atau pedagang sayur?

Ya, tapi Hansip kan diharuskan begitu.

Sama saja. Seniman yang kamu sebutkan tadi juga “diharuskan” begitu. Bedanya, yang mengharuskan adalah dirinya sendiri. Yang menuntut seperti itu adalah dirinya sendiri. Tuntutan tetap kreatif. Untuk menawarkan nilai-nilai yang lain. Mengajukan persoalan yang baru. Yang karena baru- meski harus dalam tanda petik- jadinya masih asing, masih dianggap aneh. Pelukis Rustamaji mungkin dianggap nyentrik dan aneh. Hidupnya sederhana, padahal lukisannya laku puluhan juta-satu lukisan saja. Tapi ia tak pernah mau menjual lukisannya kalau tidak mengadakan pameran. Dan pameran itu hanya dilakukan sepuluh tahun sekali! Orang yang berpikiran bisnis, tentu akan mengatakan itu aneh. Tapi Rustamaji sendiri tak merasa aneh. Wajar. Ia hanya merasa siap untuk pameran setiap sepuluh tahun. Sapardi Djoko Damono lain lagi. Ia biasa menyimpan dulu puisinya sekian tahun setelah diciptakan sebelum dipublikasikan. Ia perlu mengendapkan, menimbang-nimbang, apakah karya itu masih patut.

Ya, tapi dengan demikian bisa dianggap kurang waras kan?

Ya, karena ukuran mengenai waras berbeda. Jangan hiraukan itu.


Sekarang kita baru mudeng Kenapa Seniman Nyentrik, bukan?

Saya ada contoh juga salah satu teman saya, yang juga seorang pekerja seni. Seorang design cover buku pada sebuah perusahaan penerbitan. Kalau anda sebelumnya pernah membaca tulisan saya yang berjudul Anda Termasuk Tipe Pekerja Yang Mana? maka teman saya ini termasuk golongan pekerja pada tingkatan 2, pekerja freelance. Orang Jakarta boleh berbangga bisa kerja dikantoran mentereng di bilangan Thamrin, berdasi setiap hari, tapi tetap terkungkung dengan ketidak bebasannya akibat adanya aturan pada kantornya. Teman saya ini adalah salah satu pekerja Work at Home. Pekerja paling bebas yang pernah saya kenal. Kerja bisa sambil pakai sarung di rumah dengan minum kopi dan tak henti-hentinya mengisap rokok. Hal yang sama tidak bisa anda lakukan kalau anda adalah tipe pekerja kantoran, termasuk saya. Untungnya saya bukan perokok.

Teman saya ini juga rada mirip dengan pelukis Rustamaji, nyentrik juga. Meski sekarang ia tinggal di Jakarta yang tipikal orang-orangnya terkenal apa-apa duit, karena iklimnya memang mengkondisikan orang jadi seperti itu, ia tetap hidup dengan kesederhanaanya. Saya hafal betul kebiasaan dia. Dia tiap hari online internet. Yahoo Mesengger bagi dia lebih mirip seperi kantor virtualnya di dunia maya. Nah, kalau dalam sehari statusnya di YM tidak online berarti dia lagi invisible karena kebanjiran order dan diuber-uber Editor. Jangan ditanya berapa job order setiap harinya. Dia sampai nolak-nolak kadang karena saking banyaknya. Terakhir dia cerita ke saya ditawarin ikutan Production House (PH) film untuk ngerjakan design grafisnya. Dia tolak, meskipun pada PH tersebut menjanjikan rupiah yang lebih gede, dia tidak mau tergoda dan tetap enjoy fokus di bidang pekerjaannya sekarang. Alasannya sederhana, dia tidak ingin serakah jadi orang dan berusaha untuk tetap loyal pada beberapa klien perusahaan pernerbitan yang sudah memberinya order selama ini. Itulah orang seni. Hampir kebanyakan orang-orangnya punya idealisme tinggi seperti itu, yang tetap tidak bisa dibeli pakai uang manapun.

Nah, tanpa bermaksud Narsis dengan memuji para Blogger, karena saya termasuk ada di dalamnya, ternyata selain pekerja seni, beberapa kawan blogger saya tidak sedikit yang mempunya sikap seperti ini. Seperti pelukis Rustamaji. Tetap hidup dengan kesederhanaannya dan tidak aji mumpung mengkomersialkan kepopuleran blognya di dunia maya. Dia tetap ikhlas berbagi tanpa berharap imbalan apapun, kecuali hanya sebuah kepuasan batin.

Satu lagi pembelajaran tentang hidup yang membuat saya tumbuh dan belajar untuk menjadi makin dewasa. Semoga tulisan ini bisa menggugah anda juga.



Bookmark and Share

3 komentar:

  1. Nice info friends thank you very much

    BalasHapus
  2. bung ,saya ingin lebih banyak imformasi ttg rustamaji.berite mengenai dia dan karya sllu sedikit .

    BalasHapus
  3. Anonim:
    Maaf, saya juga tidak tahu informasi lebih lanjut tentang Rustamaji.

    BalasHapus